Potret Estetika Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa merupakan bagian dari sekian juta masyarakat Indonesia yang mempunyai tradisi menarik, unik dan kental akan nilai mistis. Ini terbukti dengan banyaknya hal-hal yang dikeramatkan salah satunya wayang. Wayang adalah salah satu mitos yang dipercaya masyarakat Jawa sebagai penggambaran hidup bermasyarakat mereka. Wayang memiliki peranan penting dalam masyarakat Jawa karena dianggap sebagai simbolisasi pencapaian kesempurnaan hidup. Sebagai mana yang kita ketahui masyarakat Jawa sangat kental kepercayaannya terhadap tradisi Jawa. Apa yang menjadi aturan dalam tradisi mereka sangat dipegang teguh dan seolah-olah wajib dilaksanakan dengan tujuan dapat tercapainya tujuan hidup yang sesungguhnya. Dan apabila ditinggalkan, mereka percaya bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada mereka. Inilah yang menambah nilai mistis dari tradisi Jawa.
Kembali ke persoalan wayang yang mewakili potret kehidupan masyarakat Jawa. Wayang menurut serat Centini berfungsi sebagai cerminan manusia di dunia yang menggambarkan proses hidup dalam kurun waktu terbatas dari putaran hokum sebab akibat, yang dalam konsep Jawa disebut ‘cakra manggilingan’. Nilai keestetikan wayang dapat memberi inspirasi bagi pengarang sastra Indonesia mutakhir. Bahkan tak jarang nilai eksplorasi estetik terhadap wayang dalam sastra Indonesia dapat menghilangkan nilai mitos lama pada dimensi diri wayang itu sendiri. Beberapa pengarang modern Indonesia memanfaatkan wayang sebagai pemberi warna estetika karya-karya mereka. Putu Wijaya misalnya, me-remake cerita Mahabarata pada episode perang Barata Yudha dan menuangkannya dalm novel modernnya yang berjudul Perang. Burung-burung Manyar dan Durga Umayi dari J. B. Mangun Wijawa memanfaatkan alur, aspek pertunjukan, dan tokoh pewayangan. Cerpen Umar Kayam juga memanfaatkan tokoh-tokoh citraksi wayang. Lakon Parkesit menginspirasi Goenawan Muhammad dalam sebuah puisi panjangnya sedangkan mitos lakon wayang Ramayana tertulis rapi dalam kitab Omong Kosong karangan Seno Gumira Ajidarma.
Sejatinya wayang hanyalah salah satu dari sekian banyak kebudayaan di Jawa. Namun wayang mampu mewakili ciri khas kehidupan masyarakat Jawa secara menyeluruh. Penggambaran kerukunan antarlelakon wayang yang tervisualisasikan melalui media wayang mampu memberi amanat kepada penonton bahwa masyarakat Jawa sangat menjunjung nilai kebersamaan yang tinggi. Orang Jawa sangat menghargai persamaan di antara masyarakatnya walaupun secara logika persamaan itu terkadang sangat tidak bisa diterima secara akal sehat. Namun justru itulah letak keestetikan masyarakat Jawa. Dan nilai estetik itu tampak pada setiap budaya dan tradisi Jawa.
Estetika Jawa Bagian dari Seni Budaya Indonesia
Indonesia sebagai Negara yang memliki masyarakat majemuk dengan berbagai suku bangsa telah melahirkan banyak kebudayaan yang sangat digemari di dalam maupun luar negeri. Kesenian tradisional begitu melekat pada setiap daerah yang menonjolkan keaslian daerah masing-masing. Aceh terkenal dengan tari Saman yang menggambarkan kekompakkan dan keteraturan puji-pujian kepada Sang Khalik. Betawi semakin semarak dengan kemeriahan Ondel-ondelnya. Tari kecak Bali memberi daya tarik wisatawan baik local maupun asing sedangkan Gamelan Jawa turut memperkaya khasanah musik Nusantara yang tidak tanggung-tanggung ternyata sangat popular sampai ke luar negri. Semua kesenian yang bernilai estetik tinggi tersebut merupakan kekayaan seni budaya Indonesia yang perlu dilestarikan dan dipertahankan demi menjaga identitas Negara kita.
Terlepas dari begitu banyaknya kekayaan seni budaya Indonesia, kesenian dan kebudayaan Jawa muncul sebagai salah satu kebudayaan Indonesia yang paling menonjol. Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, Masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai tradisi Kejawennya. Kearifan dan kelembutan tingkah laku masyarakat Jawa memberikan corak tersendiri bagi bangsa ini. Jika kita kembali ke masa orde baru, di mana masa itu merupakan masa kejayaan Rezim Soeharto yang notabenenya orang jawa asli. Pak Harto kala itu sebagai pemimpin yang terkenal otoriter namun sangat memperhatikan rakyat kecil, mampu menciptakan image “sopan” bagi bangsa Indonesia di mata dunia. Ini dilakukan Oleh Presiden kedua RI itu dengan cara menggunakan jasa pelayanan orang jawa sebagai penerima tamu di hotel-hotel besar yang sering dijadikan tempat menginap tamu-tamu negara. Masyarakat Jawa sangat dihargai dengan segala tradisinya sebagai wujud bakti beliau terhadap bumi pertiwi tercinta. Pada waktu itu dan mungkin sampai sekarang, masyarakat Jawa masih mempertahankan tindak laku yang alus tetapi masih mempunyai nilai seni. Segala bentuk upacara adatnya sarat akan nilai etika sebagai tuntunan dan estetika sebagai tontonan. Jawa adalah milik Masyarakat Jawa dan milik bangsa. Bagaimanapun Jawa merupakan kampung halaman orang Indonesia dan Estetika Jawa merupakan bagian dari kekayaan seni budaya Indonesia.
Pandangan Beberapa Ahli mengenai Estetika Jawa/Indonesia
1. Jacob Soemarjo
Jacob Soemarjo merupakan sastrawan sekaligus pengamat budaya ternama di negeri ini. Banyak pendapat dan tulisannya menjadi panutan masyarakat pecinta budaya yang lain. Setiap kalimatnya sangat berpengaruh dan sarat akan nilai moral serta budaya tinggi. Seperti salah satu tulisannya yang berjudul Satrio Piningit berada di antara kita yang ditulis pada masa awal reformasi di Indonesia. Menurut beliau, tokoh-tokoh politik Negara pada saat itu merupakan tokoh-tokoh yang berkepentingan secara kontekstual dan bukan yang seharusnya yaitu universal. Mereka dengan segala kepentingannya berdasarkan kebutuhn golongan, massa tertentu dan dengan tujuan tertentu pula. Teori yang mereka ucapkan juga terbilang “unik” dengan dalih lebih mengutamakan kami dari pada kita yang merujuk pada kepentingan orang banyak. Jacob juga mengatakan bahwa oraang yang bisa dipercaya saat itu dan mungkin sampai saat ini adalah orang yang bisa diterima oleh semua golongan dan massa dengan kata lain yaitu orang yang universal. Orang-orang semacam inilah yang oleh Jacob Soemardjo disebut Satrio Piningit di mana mereka bisa saja muncul dalam berbagai kejutan di luar dugaan semua orang. Justru orang-orang seperti itu merupakan orang yang tidak kita kenal akan tetapi sudah sangat jauh berperan demi kepentingan masyarakat banyak. Penggambaran sosok satrio piningit yang digambarkan oleh Jacob setidaknya memunculkan pemikiran kepada sebagian orang bahwa seperti itukah seorang pemimpin seharusnya?
Secara tidak langsung, sosok satrio Piningit yang digambarkan oleh Jacob telah mewakili kepribadian orang Jawa yang sesungguhnya yaitu lebih sedikit bicara dan banyak kerja dan yang lebih penting lagi yaitu kerja demi kepentingan orang banyak, demi sesuatu yang dinamakan kebersamaan. Suatu konsep keindahan di Jawa menurut Jacob adalah sesuatu yang bisa membawa kebaikan pada banyak orang tanpa harus memprioritaskan identitas. Oleh karenanya Jacob sangat menyenagi sesuatu yang merakyat. Baginya kehidupan yang merakyat bisa membawa kebahagiaan secara spiritual meski dalam keterbatasan materiil.
2. Clifford Geertz
Clifford Geertz bukanlah orang Indonesia atau Jawa asli tetapi pengetahuannya mengenai Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Lahir di San Francisco 23 Agustus 1965 dengan nama asli Clifford James Geertz, ia merupakan ahli antropologi yang sangat menggemari kehidupan masyarakat Indonesia dan Maroko. Ketertarikannya terhadap bidang agama terutama agama islam, perkembangan ekonomi, struktur politik tradisional serta kehidupan desa dan keluarga membawanya pada kecintaannya terhadap kebudayaan Jawa. Ia memulai penelitiannya terhadap masyarakat Jawa pada tahun 1960-1n dan merupakan orang yang pertama kali mempopulerkan kata priyayi.
Geertz mengelompokkan masyarakat Jawa dalam tiga golongan yaitu priyayi, santri dan abangan. Tiga golongan itu menurut Geertz merupakan kelompok cultural penting dalam masyarakat Jawa di mana priyayi merupakan kategori kelas sedangkan santri dan abangan merupakan kategori agama. Tradisi keselamatan di Jawa menurut Geertz adalah tradisi local semata dan tidak berhubungan dengan pengaruh ajaran normative islam. Namun pendapat ini kurang disetujui oleh sebagian besar masyarakat Jawa sendiri karena mereka menganggap tradisi lokal mereka juga merupakan perwujudan pengamalan ajaran normative islam. Geertz juga menemukan bahwa perkembangan islam di Jawa lebih akomodatif dan sinkretik.
Dari beberapa pernyataan Geertz mengenai Islam dan perkembangannya dalam masyarakat Jawa dapat disimpulkan bahwa, konsep keestetikan masyarakat Jawa menurut Geertz yaitu suatu padu-padanan kehidupan antara kelas dan agama yang bersatu dalam keragaman budaya dan kerukunan warga.
0 comments:
Post a Comment