take it or explode it

Saturday, April 28, 2012

Tidak hanya Muslim yang mengecam Lady Gaga

3:06 AM Posted by Unknown No comments
Selamat sore teman,

Sore yang cukup panas di sini. Panas hawanya juga panas suasananya. Demonstrasi Bersih 3.0 di pusat Kuala Lumpur belum bubar lagi. Masih membara emosinya juga di sana. Namun ada baiknya kita lupakan sejenak urusan politik ini dan bersantai sore dengan satu topik ringan tentang penerimaan masyarakat ke atas penampilan Lady Gaga.

Dua petugas penjualan tiket konser Lady Gaga di Jakarta ber-make-up seram meniru idolanya.
Ada kabar di Indonesia bahwa Lady Gaga akan mengadakan konsernya di Jakarta pada Juni mendatang. Kontroversi mengenai kedatangan penyanyi nyentrik ini pun santer dikabarkan di media. Ada yang menanti-nantikan penyanyi "Poker Face" ini datang. Ada pula yang menentang. Salah satu institusi yang menentang kedatangan Lady Gaga adalah Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang memfatwakan haram bagi sesiapa yang menonton konser Lady Gaga.

Ketika berita ini di-pos di Kaskus, saya baca banyak karkuser yang menentang fatwa MUI ini. Katanya MUI terlalu sibuk mengurusi urusan kebebasan berekspresi seseorang. Ada juga yang mengatakan fatwa MUI hanya untuk rakyat Indonesia yang beragama Islam. Yang tidak Islam boleh saja menonton. Jadi ini masalah kepercayaan, bagi mereka.

Bagi saya, ini tidak hanya masalah kepercayaan dan bukan hanya Islam saja yang menentang penampilan Lady Gaga. Tidak peduli apa agamanya, penampilan Lady Gaga dinilai terlalu melanggar norma dan nilai moral. Walaupun saya liberal, saya tidak suka penampilan Lagy Gaga. Bajunya yang terlalu ketat dan buka-bukaan dipandang tidak etis untuk budaya timur maupun budaya lain di belahan dunia manapun. Bukan hanya baju, pembawaan diri Lady Gaga juga terlalu frontal dan bertentangan dengan adat budaya serta kepercayaan agama di Timur. Kepercayaan yang dianut Lady Gaga pun sama sekali tidak bisa ditolerir karena dia tidak menyembah Tuhan. Dia penganut satanic yang merupakan musuh bagi segala agama di dunia. Jadi tidak heran MUI dan umat Muslim taat sangat menentang kehadiran Lady Gaga di Indonesia.

Jika penentangan terhadap Lady Gaga di Indonesia dilihat lebih dilakukan oleh umat Muslim, di negara lain yang bukan negara majoritas rakyatnya beragama Islam juga menentang Lady Gaga. Agama Kristen, misalnya, baik di Barat sendiri maupun di Timur juga menentang penampilan Lady Gaga. Sebut saja negara Korea Selatan yang baru-baru ini menjadi tempat Lady Gaga menggelar konser World Tour-nya. Beberapa kelompok umat Kristen konservatif menentang kehadiran Lady Gaga karena dia dianggap mempromosikan pornografi dan homoseksualitas. Kelompok Kristen konservatif ini juga sempat menggelar aksi protes. Hasilnya, pemerintah Korea hanya memperbolehkan pemuda yang sudah berumur 18 tahun ke atas yang boleh menonton konser tersebut.

Ini bukti jelas bahwa tidak hanya Islam yang menentang Lady Gaga. Penampilan dan pembawaan Lady Gaga yang terlalu berlebihan dan tidak sejalan dengan nilai dan norma sosial masyarakat menjadi pertimbangan bagi para pemuka agama dan masyarakat untuk memboikot Lady Gaga. Yang jelas, sebagai figur publik yang berpotensi menjadi panutan masyarakat, Lady Gaga dinilai tidak sesuai untuk masyarakat Muslim, terutamanya di Indonesia.

*sumber:
Jakpost
Vivanews
Tribunnews


Friday, April 27, 2012

STOP CHILD ABUSE NOW!

1:05 PM Posted by Lily Rofil No comments

Hi readers,

We, even once, ever watch or hear about child abuse, don't we? How do you feel when you see a child gets abused? How do you feel when you are exactly that child? Let's think about it.

Children are small angels that God gives us. We have to protect them instead of abusing them. When we see they are smiling, don't we feel happy? When we see they are growing very well, don't we get excited? They can be a source of happiness in a family, so why does child abuse exist even in a family?

A boy gets beaten by his mother or his father. A girl gets raped by her own uncle. A boy and a girl who are abandoned by their own parents and live on streets. Sky becomes their roof. Earth becomes their mat. They eat others' leftover. A child that is treated like a dog. A child that is always left at home alone. All these cases can be counted as child abuse. Are we willing to see it every day in our lives?

Children are human beings too. But why there are certain people treat them like animals? They have to work very hard like an adult just to support their parents or just to make their parents or their guardians do not beat them. They are prohibited to eat just because they are not intentionally pour hot tea on their parents' fancy clothes. They get scolded because they do not get A in Math class. Those do not make sense. Those are cruel, very very cruel.

Children are just children. They are lack of life experiences but they can feel. They can feel someone doesn't like them. They can feel how to make other people, especially their parents, happy. They can feel what their parents feel. So, if they get beaten, treated like a chicken, tortured, raped, they may feel they are not welcome to this world. They will absolutely feel depressed deep in their heart.

They may not know how to tie their shoe-laces. We know, so why don't we help them and teach them properly instead of kicking them? They may not know how to use spoons. We know, so why don't we feed them and give them try using spoons little by little instead of let them died because of famine? They may know what are their sexual organs use for. We know so we should tell them that their sexual organs must not be seen, touched, or tortured by other people including their closest relatives.

We adults are mature than they are. We are clever than they are. We know everything better than they do. We can think clearer than they do. So, starting from now, we must promise to ourselves that we do not want child abuse to happen in our surrounding again.

It can be started from me. I, Lily, promise myself not to want child abuse happen in my surrounding. I do not want girls to get raped. I do not want boys wandering on streets to ask for coins. I do not want girls to be traded like economic commodity. I do not want girls to serve adult sex need. I do not want children to drop out from schools. I do not want children to hold weapons to protect their country. The country must protect them instead. I do not anything related to abusing children to happen to them. I want children live happily as they have to be. I want children to grow up properly. That's why, I raise my hands and yell it loud: STOP CHILD ABUSE NOW!

Perempuan makhluk yang selalu disalahkan

7:22 AM Posted by Lily Rofil , 5 comments
Hai wanita, dan juga lelaki di luar sana.

Disadari atau tidak, kalian pernah menuding jari ke wanita
(atau ke diri sendiri, bagi kalian yang merasa wanita),
atas sebuah kesalahan, yang memang dilakukan atau tidak.
Ya, wanita memang tidak pernah lepas dari rasa bersalah.
Semua yang terjadi,
jika itu suatu kesalahan, atau kecacatan,
wanita yang akan disalahkan.
jadi, di bagian hidup manakah wanita tidak bersalah?

Bahkan sejak dilahirkan, perempuan sudah bersalah karena dia perempuan.
“Ah, mengapa anakku tidak laki-laki? Siapa yang akan kasih makan aku nanti?”
pertanyaan klasik dari seorang ayah, yang merupakan seorang lelaki,
atau juga ibu, yang tidak sadar bahwa dia juga perempuan.

Ketika dia remaja, dia dipersalahkan atas krisis moral yang melanda masyarakatnya.
“Jangan keluar malam, ada dunia buas di luar sana!”
“Jangan pakai rok pendek, nanti mengundang nafsu lelaki hidung belang!”
“Salah KAU berpakaian terlalu seksi. Sekarang keperawanannmu telah direnggut lelaki itu.”
“Perempuan tak baik marah-marah!”
“Jalan pelan-pelan, nggak baik dilihat orang!”
“Pelankan suara! Perempuan ngomongnya harus lemah lembut.”
“Buat apa bertanding untuk menjadi ketua kelas? Biarkan lelaki saja yang memimpin. Itu memang sudah kodratnya.”

Mengapa?
Mengapa dunia di luar sana perlu membuaskan diri jika wanita keluar malam?
Mengapa nafsu lelaki hidung belang harus terundang jika melihat wanita memakai rok pendek?
Apakah perkosaan itu harus terjadi setiap kali wanita berpakaian seksi? Ada undang-undangnya?
Kalau memang harus marah, so what? Toh marah itu sebagian dari proses hormonisasi tubuh kita.
Terus kalau wanita dikejar anjing, digigit dan mati, dia dianugerahkan gelar pahlawan karena telah berbuat “baik”?
Dan kalau lelaki meninggikan suara itu suatu pertanda yang baik? Mengapa?
Kodrat mana yang memihak wanita kalau begitu?

Pada dasarnya perempuan memang sinonim dengan salah.
Ketika ayahnya tidak mampu membiayainya pergi ke sekolah, dia salah.
Ketika mahkotanya direnggut di usianya yang masih belasan tahun, dia salah.
Ketika kawin, dia salah.
Tidak kawin, apalagi? Salah dia juga.
Ketika suaminya menganiayanya, dia salah.
Ketika suaminya menceraikannya, dia salah.
Ketika anaknya terlantar, salah dia.
Dia sukses, dia salah.
Dia tidak sukses, dipersalahkan juga.
Berbuat baik, salah!
Berbuat salah, makin salah!
Dan adakah waktunya perempuan dianggap tidak bersalah?

Mungkin…
Mungkin ada ketika dia diam di dalam rumah, mendengar dongeng, menjahit, dan memasak.
Mungkin ketika dia diam saat ayahnya, abangnya, pamannya, atau bahkan kakeknya, orang asing baginya, merabah tubuh telanjangnya.
Mungkin ketika dia diam saat ahli politik mengambil semua hak bersuaranya.
Mungkin ketika dia diam saja ketika orang memarahinya.
Mungkin ketika dia diam sewaktu tanahnya dirampas, begitu juga dengan harta bendanya.
Mungkin ketika dia diam setelah suaminya menyimbah asam ke muka cantiknya.
Mungkin ketika dia menunduk ketika sekeliling mencemoohnya.
Mungkin ketika… ketika dia mati memeluk anaknya yang menangis kesakitan.

Dunia tidak adil bagi wanita. DUNIA, aku kata.
Dunia.
Dunia yang dicipta Tuhan
Tapi dibangun lelaki.
Dunia yang terlalu salah bagi wanita untuk bertahan hidup.
Dunia yang seharusnya nature, tapi hakikatnya culture.
Dunia yang seharusnya memihak pada perempuan, gadis, wanita, ibu, nenek.
karena dunia dimiliki oleh ibu pertiwi, ditemukan oleh nenek moyang,
diasuh oleh tangan-tangan lembut perempuan desa.
Lantas, mengapa perempuan masih dipersalahkan?

Monday, April 23, 2012

Ternyata masih ada tradisi masyarakat keturunan India di Indonesia

2:12 AM Posted by Unknown 5 comments

Pembaca yang dihormati,

Pernakah anda terbesit pertanyaan dalam benak bahwa Indonesia juga dihuni oleh warga keturunan India? Selama ini kita tahu rakyat Indonesia sangat beragam berdasarkan etnik/suku budaya. Ada suku Jawa yang mendominasi populasi dan pembangunan di Indonesia. Ada keturunan Cina yang menguasai dunia bisnis dan ekonomi. Etnik Sunda terkenal dengan perempuan yang cantik. Suku Bugis suka merantau. Suku Batak menguasai profesi advokasi. Masih banyak lagi etnik suku di Indonesia yang saya pun tidak bisa menyebutkan satu per satu. Tetapi pernahkah kita menjumpai warga Indonesia yang berketurunan India?

Saya pribadi tidak pernah berjumpa dengan orang Indonesia keturunan India sampai pada tahun 2009 ketika saya menjadi student helper untuk Pemilu Legislatif 2009 di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur (KL). Waktu itu saya ternampak seorang gadis berwajah manis ala-ala India. Saya fikir dia orang Malaysia yang menjadi pekerja di KBRI. Rupanya dia bisa berbicara sangat lancar dalam Bahasa Indonesia dan merupakan pelajar Indonesia di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM).

Saya sering ditanyai oleh kawan-kawan India di kampus Universiti Malaya (UM) apakah ada rakyat keturunan India di Indonesia. Warga keturunan India di Indonesia yang saya tahu sejak dulu cuma keluarga Ram Punjabi dan ram-ram lainnya yang menguasai produksi  sinetron dan film horor semi porno di bawah rumah produksi Multi Vision Plus dan MD Entertainment.

Melihat warga keturunan India di Malaysia yang begitu banyak dan masih mempertahankan tradisi aslinya sehingga tidak tampak seperti rakyat Malaysia, terbesit di benak saya apakah ada warga keturunan di Indonesia yang benar-benar masih "India". Kemudian saya nemu artikel berita dari Metro TV pagi ini yang mengabarkan tentang tradisi Serak Gulo yang dirayakan oleh warga keturunan India di Padang, Sumatra Barat. Setelah membaca artikel ini saya berfikir, "oh ada juga keturunan India yang masih mempertahankan tradisinya di Indonesia". Mengapa saya berkata demikian? Karena selama hidup di Indonesia saya tidak sangat jarang menyaksikan atau mendengar tentang tradisi masyarakat Indonesia keturunan India.

Sebenarnya dengung tentang tradisi budaya India di Indonesia bukan tidak ada sama sekali. Justru pengaruh budaya India ke dalam budaya Indonesia sangat kental. Menurut fakta sejarah, Islam masuk ke Indonesia dibawah oleh pedagang dari Gujarat yang membuat transaksi jual-beli dengan dan mengenalkan budayanya kepada masyarakat setempat. Mereka kemudian menetap, menikah dengan orang lokal dan mempunyai keturunan yang mungkin sudah berdifusi dengan suku etnik lainnya. Jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, para golongan Brahmana dari India mendahului dengan menyebarkan agama Hindu di Indonesia. Banyak kerajaan-kerajaan Hindu menyebar di Nusantara dahulu kala. Yang paling berpengaruh tentunya kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa. Saking kuatnya pengaruh Hindu di Jawa pada zaman lampau, tradisi masyarakat Jawa Islam pada masa sekarang masih mengandung unsur-unsur Hindu. Sebut saja perayaan Malam Satu Suro (Tahun baru Islam, satu Muharam) di Jogjakarta yang masih menggunakan persembahan-persembahan (sesaji) layaknya perayaan umat Hindu.

Perayaan Malam Satu Suro merupakan perayaan umat Muslim yang mendapat pengaruh Hindu India. Bagaimana pula dengan perayaan umat Muslim Indonesia yang mendapat pengaruh Islam India? Salah satu contohnya yaitu tradisi Serak Gulo yang saya sebut di atas. Tradisi Serak Gulo atau tabur gula merupakan tradisi tahunan yang hanya ada di Padang. Tradisi ini merupakan ritual pembuka yang akan ditutup oleh tradisi Arak Cendana dan biasanya diadakan selama sepuluh hari pada bulan Jumadil Akhir menurut kalender Islam. Tradisi yang sudah diamalkan sejak 300 tahun lalu ini adalah bentuk nazar yang dilakukan oleh keturunan India Islam di mana nazar tersebut ditandai dengan memberi gula sebanyak nazar yang dibuat. Ribuan bungkus gula dari para pendonor gula biasanya dibagi-bagikan kepada warga keturunan India di lokalitas setempat.

Pendonor gula membagikan bungkusan gula kepada warga keturunan  India di Padang, Sumatera Barat.

Ternyata memang ada tradisi keturunan India yang masih dipertahankan sampai sekarang orang masyarakat Indonesia, dan saya baru tahu ini. Saya pun meng-Google untuk mencari tahu bagaimana tradisi masyarakat keturunan India di daerah lainnya. Pada salah satu blog yang saya baca, saya dapati ada juga masyarakat keturunan India yang merayakan Deepavali atau Diwali. Katanya, di Medan, Sumatera Utara, perayaan Diwali boleh dirayakan secara besar-besaran sejak tahun 1998. Tentang perayaan Diwali di Indonesia, dulu memang saya pernah mendengar kabarnya. Saya tahu ini melalui program infotainmen yang menyiarkan informasi tentang perayaan Diwali yang dirayakan oleh keluarga Ram Punjabi dan produser-produser sinetron keturunan India lainnya. Saya juga pernah mendapat satu pesan ringkas (SMS) nyasar berupa ucapan selamat hari Diwali yang kemudian saya ketahui sebagai perayaan bagi keturunan India terutama yang beragama Hindu.

Kita memang jarang mendengar tradisi masyarakat keturunan India, tetapi peninggalan budaya India di Indonesia sangat banyak. Sebut saja Candi Borobudur dan Candi Prambanan, dua ikon wisata Jogajakarta tersebut merupakan peninggalan dari zaman kecemerlangan agama Hindu-Budha di Jawa yang mendapat pengaruh dari India. Cerita wewayangan Ramayana dan Mahabarata yang sering "diklaim" sebagai produk budaya masyarakat Jawa juga sebetulnya berasal dari India. Bahasa kebangsaan kita, Bahasa Indonesia  banyak menyerap kata-kata Sansekerta, bahasa kuno di India. Orang Indonesia, baik yang keturunan India maupun tidak, banyak yang memakai nama mirip dengan nama-nama orang India seperti Wati, Ratna, Rangga, Sulastri, Dewi, Dewa, Mahendra, dan banyak lagi. Tentunya, warga keturunan India di Indonesia juga banyak dan tersebar di kota-kota besar di seluruh Indonesia, terutama di Medan, Palembang, Aceh, Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Jogjakarta, Surabaya, Malang, Bangil dan Bali.

Kesimpulannya, tradisi dan budaya keturunan India di Indonesia memang ada tetapi kurang dikenal. Masyarakatnya pun jarang dijumpai karena mungkin sudah berdifusi dan berasimilasi dengan masyarakat suku etnik lain sehingga muka dan bentuknya tidak dapat dibedakan dari muka keturunan Indonesia asli. Gaya hidupnya juga sudah seperti warga Indonesia pada umumnya. Inilah keunikan Indonesia, walaupun terdiri daripada beragam suku budaya, indentitas nasional tetap satu: Bangsa Indonesia.

Sekian. Adios.

*sumber:
MetroTV
Wikipedia
Blog Bambang Priantono

Friday, April 20, 2012

Salah kapra arti emansipasi

10:54 PM Posted by Lily Rofil , , No comments

Halo pemuda/pemudi Indonesia

Setiap tahun rakyat Indonesia merayakan Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April. Setiap tahun pula wacana emansipasi di Indonesia diungkit dalam rangka peringatan hari kelahiran pejuang wanita yang bernama Raden ajeng Kartini tersebut. Sayang, masih banyak yang keliru akan makna emansipasi.

Pada post sebelumnya tentang mengapa saya support feminisme, saya sudah menyentuh sedikit tentang kekeliruan masyarakat terhadap istilah emansipasi (emancipation) dan kesetaraan gender (gender equality). Karena post tersebut saya tulis dalam bahasa Inggris, kemungkinan banyak orang yang tidak membacanya. Ada juga yang membacanya tapi masih salah faham. Jadi di sini saya mau membahasnya kembali.

Tadi pagi saya membaca salah satu tweet yang di-retweet salah satu teman saya, mengatakan salah satu bentuk emansipasi itu seperti keberanian cewek menyatakan cinta duluan kepada cowok. Emansipasi itu seperti cewek boleh memakai baju cowok, sebaliknya cowok boleh memakai baju cewek, katanya. Ada juga yang mengatakan, emansipasi itu keadaan di mana lelaki dipaksa masuk ke dapur sedangkan wanita boleh bebas kelayapan di luar rumah. Ini jelas anggapan tentang emansipasi yang salah kapra.

Emansipasi itu berasal dari perkataan dalam Bahasa Inggris "emancipate" atau "emancipation" yang artinya memberikan hak yang sepatutnya diberikan kepada orang atau sekumpulan orang di mana hak tersebut sebelumnya dirampas atau diabaikan dari mereka. Ibu kita Kartini telah mencontohkan salah satu bentuk emansipasi yang membawa perubahan besar kepada perempuan Indonesia, yaitu perjuangan menuntut hak pendidikan bagi perempuan. Ini jelas bentuk emansipasi karena fakta sejarah menceritakan bahwa wanita pada zaman dahulu diabaikan haknya untuk memperoleh pendidikan formal dan berkat Kartini, wanita pada zaman itu dan sekarang layak mendapatkan pendidikan formal di sekolah maupun di institusi pendidikan dan profesional lainnya. Bayangkan jika perempuan dilarang untuk mendapatkan pendidikan formal, mungkin saya dan anda para perempuan Indonesia di luar sana hanya berkesempatan menjadi tukang jahit, juru masak, pengasuh anak, dan mungkin juga pencari kutu rambut bersama tetangga-tetangga anda.

Sekarang perempuan Indonesia sudah bisa menikmati pendidikan formal seperti yang diharapkan Kartini. Lalu bentuk emansipasi apa lagi yang perlu diperjuangkan? Banyak. Hak berpolitik misalnya, walaupun wanita sudah mendapatkan kuota 30% di parlimen, suara mereka masih dianggap remeh. Saya rasa kuota itu hanya sebagai stimulus untuk melunakkan hati perempuan saja. Suara perempuan masih lagi diwakili oleh suara lelaki. Hakikatnya, lelaki dan perempuan mempunyai kepentingan yang berbeda. Jadi, emansipasi perempuan dalam bidang politik seharusnya membebaskan wanita menyuarakan pendapatnya tanpa harus dibayangi imej seksis dan kepentingan kaum lelaki, apalagi kepentingan partai.

Pada zaman modern ini sudah banyak juga wanita yang menceburi bidang profesional dengan menduduki posisi yang sebelumnya didominasi oleh lelaki. Ini juga bentuk emansipasi, yaitu emansipasi menuntut hak di arena publik. Sebelumnya, perempuan selalu dikaitkan dengan tugas rumah tangga saja seperti memasak, mencuci, membersikan rumah, merawat anak, dan melahirkan. Sekarang sudah banyak wanita yang menjabat sebagai direktur, manajer, ketua oraganisasi, bahkan salah satu presiden kita ada yang berjenis kelamin perempuan. Mengenai performance mereka, itu urusan pribadi masing-masing. Yang terpenting, mereka sudah diberi kesempatan untuk menunjukkan sumbangan yang bisa diberikannya untuk pembangunan negara.

Sesungguhnya emansipasi yang sebenarnya adalah bentuk pemberian hak kepada wanita untuk mengembangkan diri dan kemahiran profesional agar bisa bergandeng bahu dengan lelaki dalam pembangunan negara. Tidak ada maksud negatif yang tersembunyi di sebalik gerakan emansipasi. Jikapun ada, itu kembali ke niat orang atau kumpulan yang memperjuangkannya dan apa latar belakang yang memotivasinya. Bagi saya pribadi, emansipasi bukan usaha untuk melegalkan prostitusi, seks bebas, homoseksualitas, gonta-ganti pasangan, aborsi, dan segala bentuk degradasi peradaban lainnya seperti yang dituduhkan oleh kaum konservatif patriarki. Jika ada gerakan yang mengatasnamakan emansipasi dan mendukung usaha-usaha ilegal tersebut, bukan berarti itu mewakili gerakan emansipasi kolektif secara umumnya.

Emansipasi juga tidak menyeru perempuan untuk membangkang dari ayahnya, walinya, orang tuanya, dan suaminya. Dalam Islam sendiri sudah disebutkan bahwa seorang istri (wanita) wajib mentaati suaminya (lelaki). Bahkan ketaatan seorang istri kepada suami dinilai ketaatan tertinggi setelah ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun perlu digarisbawahi oleh lelaki, Islam tidak pernah mengajarkan lelaki untuk memukul, menghina, dan merendahkan martabat isterinya. Suami juga tidak boleh menyuruh hal-hal yang dilarang oleh agama kepada istrinya. Tidak ada dalam al-Quran ditemukan ayat yang menyatakan istri adalah hamba sahaya seorang suami. Suami perlu menghormati istri dan wanita di sekitarnya sebagai bentuk balasan ketaatan perempuan-perempuan tersebut. Sebagai lelaki yang dibawa ke dunia oleh seorang wanita, setiap lelaki tidak berhak untuk merendahkan siapapun wanita di sekelilingnya.

Saya seorang perempuan biasa. Saya tidak menuntut banyak dari anda semua. Saya cuma berharap melalui tulisan ini, mari kita sama-sama membuka mata dan lebih peka terhadap sumber masalah sosial yang sebenarnya dan tidak melulu menyalahkan pihak tertentu atas kebobrokan masyarakat. Menyalahkan perjuangan emansipasi dan perempuan misalnya, ini hanya akan menambah masalah dan tidak mencari solusi. Setiap gerakan memiliki sisi negatif dan positifnya. Yang positif kita dukung, yang negatif kita lawan.

Tulisan ini mewakili pandangan pribadi saya. Jika anda mempunyai pendapat berbeda, itu hak anda dan anda berhak mengutarakannya di sini sebagai bahan diskusi sehat.

Perempuan Indonesia Berprestasi di Tingkat Dunia

9:40 AM Posted by Lily Rofil No comments

Salam pemuda Indonesia

Hayo, tidak lupa kan hari ini tanggal berapa dan ada peringatan apa di Indonesia? Hari ini tanggal 21 April merupakan peringatan Hari Kartini. Jadi, admin mau mengucapkan Selamat Hari Kartini kepada semua perempuan Indonesia, baik yang ada di Tanah Air maupun di luar negara, terutama pelajar perempuan Indonesia di Universiti Malaya.



Dalam rangka Hari Kartini, admin mau membahas tentang perempuan berprestasi Indonesia. Membicarakan perempuan Indonesia biasanya identik dengan Raden Ajeng (R.A.) Kartini yang memperjuangan hak perempuan Indonesia terutama untuk mendapatkan akses pendidikan. Istilah "emansipasi" yang beliau perkenalkan lebih dari seratus tahun yang lalu masih kental di pikiran masyarakat Indonesia sampai sekarang. Jika perempuan Indonesia pada zaman dahulu dan sekarang masih diabaikan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan seperti yang berlaku sebelum era Kartini, bisa dibayangkan Indonesia tidak akan semaju sekarang. Pendidikan memang sangat penting bagi pembangunan negara dan perempuan serta laki-laki memainkan peranan penting di dalamnya. Jika perempuan diabaikan haknya untuk mendapatkan pendidikan, sudah tentu mereka tidak bisa bahu-membahu dengan laki-laki untuk memajukan ekonomi, sosial, dan politik Indonesia. Yang paling penting, dengan pendidikan yang sesuai dan setara, perempuan Indonesia juga bisa mengharumkan Indonesia di mata dunia.

Sudah banyak perempuan Indonesia yang mengharumkan nama Indonesia di dunia terutama di bidang pendidikan. Sebut saja Sidrotun Naim, pelajar tingkat PhD di bidang Sain Lingkungan ini pada bulan Maret lalu telah dinobatkan sebagai salah satu penerima penghargaan "the 2012 L'Oreal-UNESCO International Fellows". Wanita Solo ini  merupakan seorang daripada 15 wanita di dunia yang menerima penghargaan tersebut. Penelitian beliau di bidang molecular virology bertujuan untuk menginvestigasi dan mengubah struktur dan fungsi genetik IMNV, virus baru di Indonesia yang dapat membunuh hampir 70% populasi udang. Tentu saja hasil penelitian mahasiswa University of Arizona ini akan memberi impak besar bagi perkembangan ekonomi Indonesia terutama di bidang peternakan udang.  Yang paling penting, Indonesia bakal mempunyai ahli patologi perempuan bertaraf Internasional untuk pertama kalinya.

Yang paling baru, pada tanggal 12 April 2012 yang lalu, mantan Mentri Keuangan Indonesia yang sekarang menjabat sebagai Managing Director di Bank Dunia, Dr. Sri Mulyani Indrawati telah menerima penghargaan  Madhuri and Jagdish N. Sheth International Alumni Award dari University of Illinois in Urbana-Champaign (UIUC). Beliau menerima penghargaan tersebut bagi kategori Exceptional Achievement atas prestasi menonjol beliau secara profesional di tingkat nasional dan internasional. Antara usaha besar beliau ialah  penerapan reformasi keuangan, pemberantasan korupsi di kementerian yang dipimpinnya suatu ketika dahulu, dan peningkatan foreign direct investment di Indonesia. Sangat disayangkan orang seperti beliau tidak lagi diperlukan jasanya di negara sendiri, tetapi admin yakin beliau akan terus mengharumkan nama Indonesia di mata dunia.

Satu lagi perempuan berprestasi Indonesia yang mampu menunjukkan ke dunia bahwa film Indonesia tidak hanya sekedar film horor-porno terselubung, melainkan penuh nilai moral dan membawa pesan positif bagi masyarakat. Perempuan ini tidak lain dan tidak bukan adalah Sutradara kawakan Nia Dinata. Produser sekaligus sutradara film Arisan dan Arisan 2 baru saja menerima Achievement Award untuk dua film tersebut di acara CinemAsia Amsterdam 2012 pada tanggal 8 April lalu. Penghargaan tersebut diberikan oleh Hivos Foundation, Belanda atas kegigihan beliau mengangkat isu-isu kesetaraan gender dalam film, terutama di dua sekuel Arisan. Film-film yang beliau hasilkan memang sering menyentuh isu gender. Sebut saja film Perempuan Punya Cerita dan Berbagi Suami, kedua film ini mengangkat isu-isu gender yang masih dianggap tabu dalam masyarakat seperti pelacuran, seks bebas dan poligami.

Masih banyak lagi perempuan Indonesia yang berprestasi dan mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. Jika dibahas satu per satu di sini, entry ini akan sepanjang jalan Daendles, dari Anyer sampai Panarukan (lebay). Ini karena perempuan Indonesia yang berprestasi di tingkat dunia jumlahnya mungkin ribuan bahkan jutaan. Dan jumlah ini akan semakin bertambah jika kita, pelajar perempuan Indonesia (terutama anggota PPIUM), bisa segera mengikuti jejak para perempuan brilian yang admin sebutkan di atas dengan mengukir prestasi, berdasarkan cara dan bidang masing-masing. Sebenarnya pelajar perempuan PPIUM sudah pun berprestasi di tingkat internasional. Pada tahun 2009 dan 2010 yang lalu, tim Penari Saman Indonesia dari Universiti Malaya berhasil menyabet tempat kedua dan juara di ajang One World Culture yang diadakan di Nilai University College, mengalahkan puluhan tim kebudayaan pelajar International lainnya dari seluruh Malaysia. Luar biasa dan selamat untuk para pelajar perempuan PPIUM.

*sumber:
Unesco
Indonesiaberprestasi

Thursday, April 19, 2012

Nothing's wrong with supporting the ideology of feminism

8:39 PM Posted by Unknown , , No comments

God day peeps,

Before I talk about the topic Im gonna discuss with you, I'll show you a screenshot from my Google+ page. This post was posted by my friend and I totally agree with what she said. So check this out.


I do agree with my friend said about nothing wrong to be a liberal as long as we still have believes in traditional--and religious--values. In modern days, people start seeing traditional and religious values less important. They tend to follow the flux in which they are more likely to be liberal. That's not surprising, though, in fact nowadays there are so many isms appear in attempt to influence people with brand new and eye-opening facts and ideologies that people previously do not pay attention to. Name it feminism, secularism, capitalism, free-thinker, etc. these isms have their own pros and contras.

Since I study gender, I would like to talk little bit about feminism. The term feminism was coined in Western world in late 19th century. Generally, feminism tries to bring women's concerns to mainstream so that women's fundamental right can be taken into account in the process of country development. Initially, feminism, in their first wave to third wave movements, were divided into, at least, four categories: liberal, radical, Marxist, and socialist. Each category had its own agenda. Liberal feminism fought for women's right in public sphere, such as access to education and politics. Radical feminism attempted to eliminate patriarchal values from society which were seen as the source of oppression against women. Feminist also adopted Marxism to form Marxist feminism in attempt to fight against capitalism as this ideology had tendency to marginalize women. Last but not least, socialist feminism which was influenced by radical and Marxist feminism, put the core agenda to work for elimination of patriarchal and capitalist values that oppressed women.

For me, I prefer to follow the ideology of social feminism because I hate patriarchy and capitalism that seem try to endanger women. I like the intention of this feminism which is to eradicate all the things that sound or seem to discriminate women especially those that are caused by patriarchal and capital systems. Patriarchy system obviously does not allow women to be in line with men in every aspect of life. Whereas, capitalism influenced by patriarchy has tendency to prioritize men over women. Thus the opportunities for women in political, social, and economical development are still limited.

Specifically, the patriarchy system always tries to put women as inferior to men. Patriarchy believes that women are subordinate. Thus women are only allowed to deal with domestic sphere while men are responsible in public sphere. For instance, women are always referred to domestic work such as cleaning, cooking, child-bearing, child-rearing, and so on. Nowadays, many women have entered public sphere through job employment and political involvement. Yet, they attach to domestic work considerably a lot. I am not saying that men today don't help in domestic work. My father, for example, will cook or do laundry and go for errands to shop household needs if my mother is not able to do so. How about majority men out there? Are they like my father? Well, maybe some of them are but in fact the patriarchy system influences them that they aren't supposed to involve in domestic tasks and follow women instruction. Therefore there are significant numbers of cases that men disrespect women as if women are born to be their slaves. Wallahi, I hate that.

I hate patriarchy so much. I think I hate patriarchy more that I hate capitalism. Well, in fact capitalism is just the matter of competition. Who are qualified to particular positions, men or women, those get the access and privileges. HOWEVER, due to the strong patriarchy system in the society, men always try to sabotage women in any competition. Just saying. I think I detest patriarchy to the max. Hence, I think I am more in favor of radical feminism. But I am not a feminist if I may say. I just believe in the ideology: eliminating all the patriarchal things that discriminate women.

Feminist movements were always seen problematic as their agenda was seen opposite to mainstream agenda. Even though in their land of struggle, Western, which liberalism was promoted publicly, feminist ideology always  got countered. That was because the patriarchy system in the Western was still strong then that women were seen as second class or a marginalized group which would never be equal to men. Despite their tough struggle in Western, feminists and their ideology could reach Eastern world. Yet, due to the strong attachment of the Eastern people to communal values, which was strong patriarchal too, the ideology could not go further here. It is not surprising when people in Eastern try hard to block this ideology to be spread in the society since their believe systems also put down on women. And because it was rooted from Western values, people of the East could not simply adopt the feminist values.

Essentially, feminist values and ideology were found in the East far before Western feminism went public. It was reported that women in India, for example, had fought for elimination of oppression and violation against  women in the name of religion or custom system, which was Hinduism. In ancient India, women who were left by their husbands due to death, should be burnt as a symbol of faithfulness. This practice was called "sati". In contrast, the husbands whose the wives died did not have the same practice. That's ironic and completely unjust.

Actually, feminism is just a term. It is raised as political issues because the term is from Western world and the ideology is not in line with the hegemony agenda. In Western, feminism might not bring along religious values but their intention to eliminate oppression, violence, and discrimination against women was pure and fruitful. So, why don't we look at the positive sides of their struggle? If we could create a better world in which discrimination does not exist against marginalized groups in terms of gender, ethnicity, religions, race, skin color like feminists strive in their movements, why not?

Alright, let's move to feminism in Indonesian context. Since tomorrow is Kartini's Day in Indonesia, I would like to say HAPPY KARTINI'S DAY to all women and girls in Indonesia. Kartini's Day is a day off to celebrate the born day of Raden Ajeng (R.A.) Kartini, the first woman who start a public woman movement in Indonesia. Kartini was famous with the term emansipasi (emancipation) as she fought for women's rights to be equal to men in access of education and other crucial aspects of life. She protested against Javanese culture that hampered the development of native women in Indonesia. Her enormous struggle to uplift women's dignity has been recognized as a patriotic commitment of speaking up for women's rights in Indonesia. Up until today, people of Indonesia still celebrate her patriotic spirit. I think Kartini's struggle could be consider as one of feminist movements since she fought for women's rights. And the people of Indonesia never see the Kartini's spirit as feminism probably because the term feminism/feminist was not familiar then and they prefer the term that is more practical or culture-friendly which is emansipasi.

Unfortunately, there are so many Indonesians misunderstood this term of emansipasi. Especially those who name themselves conservatives, emansipasi is understood as the efforts to place women and men equal in every aspect of life. Apparently, they assume that emansipasi is potentially to challenge men's power and take over men's position as the guardians or leaders. They have it in their mind that emansipasi tries to place women in public arena and men in home, COMPLETELY. This is absolutely wrong. This is not surprising if they think that way as they are still influenced by patriarchal norms.

Basically, emansipasi comes from an English word "emancipate" which means to give someone the political and legal rights that they did not have before. In fact, emansipasi movement done by Kartini attempted to give chances for women to get education as the right was denied before due to the traditional patriarchal system in the society and the Dutch colonialism. Emansipasi today, however, can be implemented by giving women the opportunities to get into political sphere IF they are really qualified for and not because they should be there due to the certain quota or just fulfilling the so-called gender equality.

This is also wrong to liken emansipasi to gender equality even though both terms are interconnected. As I mention, emansipasi is to give people what they are supposed to get that is denied before. It is not only in terms of gender differences. Instead, emansipasi can refer to returning the rights of any other marginalized groups so that they can also stand together with the mainstream groups in the name of humanity. Gender equality, in contrast, refers to promoting the equal rights of women and girls to support their full participation and involvement in the political, social, and economic development in their communities (UNICEF). In the other words, gender equality is not necessarily to give women and girls the COMPLETELY same rights as the men counterparts given. Gender equality according to Conference on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW),  is to promote substantive equality which consolidates two main approaches of equality: equality of opportunities and equality of results. Equality of opportunities refers to the same access to the resources or opportunities--such as jobs or positions or training--for both men and women despite their biological and social differences. Equality of results refers to providing different schemes for women and men (as their needs and requirements are different) in order to achieve the same results for both men and women, or to result the positive changes for women so that they can be standing in line with men to realize the country development goals.

The implementation of gender equality is not merely to give the same portion of obligations and of rights to women and men as it is defined in formal equality. Women and men have different characteristics and skills. Women's needs differ from men's needs  too. Thus, women's needs could not be fulfilled by giving them men's needs and vice versa. However, in terms of skills, if women are given opportunities to be trained like a man too, it is not impossible if women can do what men do. BUT it should not be across the boundaries as determined in religious faith. I repeat, it should not be across the boundaries as determined in RELIGIOUS faith, not CULTURAL believes. I must emphasize this because people often misunderstand between RELIGIOUS WORSHIP and CULTURAL TRADITIONS. For example, the practice of wearing burqa for women is often referred to a way of worshiping God. In fact, it is just a cultural tradition in Middle East or Arabian countries to keep women protected from men gaze and torture (Arab men are wilder than any other men in the world, reportedly), and according to my Middle Eastern friends wearing fully covering abaya and burqa can protect women's body and face from the heat of enormously hot weather. If you don't believe me, you can try it if you go to Arab countries.

From my last point of view about the difference between religious faith and cultural traditions, you can think that I am not fully rebellious against religion, especially my the only one religion, Islam. I still believe in Allah and I do practice the Islamic ways of life. I just do not place myself in extremist ways of worshiping. As long as I call myself a Muslim, I perform five times prayers, I am fasting during Ramadhan month and Monday-Thursday, I pay Zakat, and someday insha-Allah I will go for Hajj pilgrimage, and most importantly I do not commit a crime against humanity, I think I am free to support the POSITIVE VALUES of liberalism or feminism. Therefore, nothing's wrong with supporting feminism as long as you still stick to religious values and do not cross the line of religious faith. I am not trying to challenge men's positions or rights. I just do not like any statements or circumstances that discriminate women. And before I end my argument, I better leave you with this quote "nowhere in the Koran does it say women are the servants of men".

Most of things stated here is just my two cents, and you are free to have yours too. Or if you have different points of view, please feel free to drop comments here. Thank you and adios.

Tuesday, April 17, 2012

We should think about applying "tendenko" method of surviving disasters

10:23 AM Posted by Unknown No comments

Hi everybody

Yesterday earthquake might remain a nightmare for everybody, especially those in the areas affected. The huge tsunami that possibly generated by the enormous quake with 8.7 in Richter scale luckily did not strike. But the buzz about devastating 2004 tsunami might happen again terrified the people in Aceh province of Indonesia, and perhaps people in other places too. It made them panic. Well, it is normal to be panic in such situation but the most important thing to do is, run for your life. Save yourself first to survive.

Some Japanese ran to save their lives as Tsunami hit the country in March a year ago (pic from google)
Saving ourselves first when a disaster is happening is really important. It is not that we do not care of anybody or anything but we just want to make sure that we are safe, so that we can think ways to help others later. I find this brilliant method of surviving by Japanese people. It is called tendenko, or self-preservation. It teaches us how to rescue ourselves first when a disaster hit our living land. How is it? Simple, just run for your life--without worrying anybody and anything.

This simple yet tremendously helpful way of surviving disaster was coined by Professor Toshitaka Takada from Gunma University. It was taught to the people of Japan as a project of tsunami prevention. Even the school pupils know this method. Reportedly, the tendenko was behind the high rates of survival in Hama district of Kamaishi, Iwate prefecture. Although the district was right before the sea and hit by more than 30 meters high wave, none of school children were victimized in both quake and tsunami. They had been told to run uphill to save their lives when quake struck. Thus, the tsunami wave could not touch their skin, even an inch. Amazing, right?

It is crucial to teach children with such knowledge as children, in one hand, do not have worries as much as adults do. Hence, they can easily apply it during disasters. Moreover, they are young generations that have huge potential to build brighter future for the country. Thus they have to be rescued first. The adults, on the other hand, due to their life experiences and attached communal values, they have tendency to save the others. The possibility to use tendenko method may not be as  much as the children. However, if they care of themselves, and the others as well, they have to be safe at the first place. If they are safe, they have opportunities to help the other survivors. At the end, it will help to push forward the recovery efforts.

In my view, this tendenko method is terrific and could be used as a better solution to Japan and other tsunami-prone regions. Here in south east Asia, especially in Indonesia, as we live in the Pacific ring of fire, that our lives are potentially threatened by massive quakes and tsunami, we should start thinking of using this method. If everybody in disaster-affected areas could think of saving themselves first without worrying anyone and anything, everybody will survive and casualties could be minimized.