take it or explode it

Tuesday, December 23, 2014

Isu yang sama setiap tahun: Boleh nggak sih Muslim ucapkan "Selamat Natal"?

9:50 PM Posted by Unknown , 1 comment
Assalamualaikum dan salam sejahtera.

Setiap tahun, menjelang natal, isu hukum mengucakpan "Selamat Hari Natal" atau "Merry Christmas" bagi penganut agama Islam selalu menjadi perdebatan di negara-negara mayoritas seperti di Indonesia dan di Malaysia. Berita-berita di media massa juga tidak luput membahas perdebatan ini yang kemudian dikomentari dengan berbagai pendapat. Ada yang mengatakan haram. Ada yang setuju hal itu boleh dilakukan oleh Muslim. Yang pasti perdebatannya selalu diwarnai bumbu-bumbu menyinggung SARA dan ada kecenderungan saling memburukkan masing-masing agama. 

Pertanyaan saya, sampai kapan kita akan berdebat isu yang berpotensi memecah belah rakyat majemuk di negara kita? 

Sejak dua hari yang lalu saya perhatikan di media online memang sudah terlihat perpecahan umat karena perkara ini. Bukan hanya Muslim lawan non-Muslim, tetapi sesama Muslim juga saling menghina karena perbedaan pendapat. Saya pun gatal rasanya ingin ikut berkomentar di salah satu media berita online Indonesia yang tengah membahas isu ini. Namun, saya urungkan karena debat-debat online sebegitu tak lebih dari debat kusir yang tidak ada solusinya. Pagi ini pula saya tidak sengaja baca headline di salah satu koran Malaysia yang juga tengah membahas isu ini. Akhirnya saya putuskan untuk ikut berpendapat juga mengenai isu tersebut melalui blog saya ini. 

Sebelum kita bahas hukumnya, mari kita jabarkan dulu akar permasalahannya. Kalau saya perhatikan setiap tahun, yang didebatkan di sekitar isu ini adalah seperti berikut:

1. Umat Kristen tidak "mengemis" ucapan "Selamat Hari Natal" dari umat Islam. Yang mereka herankan, kenapa Muslim dilarang memberi ucapan tersebut, sedangkan mereka dengan bebas (dan ikhlas) mengucapkan "Selamat Idul Fitri" kepada masayarakat Muslim yang merayakan lebaran.

2. Sikap pelarangan pemberian ucapan "Selamat Hari Natal" yang ditunjukkan pemimpin dan penganut Muslim disalah artikan sebagai sikap tidak toleransi agama, baik oleh sesama Muslim atau non-Muslim.

3. Beberapa peristiwa pengeboman di gereja-gereja Indonesia pada saat perayaan Natal memberi kesan seolah-olah Muslim benci Kristen dan perayaan Natal.

4. Sesama Muslim pun masih debat tentang hukumnya dan malah saling menjelek-jelekkan pribadi masing-masing dan kadang-kdang menjurus pada penistaan agama.

Baiklah, sekarang kita bahas setiap poin yang menjadi pokok permasalahan isu ucapan Natal ini. 

1. Mengapa "Ucapan Natal" ada hukum dan menjadi perdebatan di kalangan umat Islam
Sebagai umat Islam, saya yakin umat Kristen tidak memaksa Muslim untuk mengucapkan "Selamat Hari Natal" kepada mereka. Saya sendiri berkeyakinan bahwa penganut Kristen juga tidak diwajibkan mengucapkan "Selamat Hari Raya Idul Fitri/Idul Adha" kepada Muslim. Sayapun tidak memaksa teman-teman non-Muslim saya untuk memberi ucapan tersebut. Yang menjadi masalah, kenapa Ucapan Natal mempunyai "hukum" dan menjadi isu dalam Islam? Ini yang perlu kita jelaskan kepada teman-teman non-Muslim kita. 

Bagi yang kontra Ucapan Natal, pegangannya ini:

Saya petik dari EraMuslim

Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baaz, Syeikh Ibnu Utsaimin—semoga Allah merahmati mereka—serta yang lainnya seperti Syeikh Ibrahim bin Muhammad al Huqoil berpendapat bahwa mengucapkan selamat Hari Natal hukumnya adalah haram karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama mereka. Allah tidak meredhoi adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya didalam pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka dan ini diharamkan.

Dalam Al-Quran dijelaskan:

Dan mereka berkata, "Allah Yang Maha Pengasih mempunyai anak.” Sungguh, kamu telah membawa sesuatu yang sangat mungkar, Hampir saja langit pecah dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, (karena ucapan itu),  Karena mereka menganggap Allah Yang Maha Pengasih mempunyai anak. Dan tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Pengasih mempunyai anak (Quran Surat Maryam: 88-92).

Menurut petikan Quran di atas, sudah jelas bahwa Tuhan bagi Islam sifatnya Esa, hanya Allah. Dan Allah (SWT) tidak beranak. Sedangkan perayaan Natal dimaksudkan untuk merayakan kelahiran Jesus, yang dipercayai oleh umat Kristen sebagai anak Allah. Jadi memeberi ucapan "Selamat Hari Natal" dianggap ikut mengimani kepercayaan Kristen ini dan ini boleh merusak akidah umat Muslim.

Saya yakin setiap tahun penjelasan ini sudah banyak dijabarkan oleh pemuka agama Islam baik di forum-forum dialog atau di media massa. Dan saya rasa non-Muslim pun pernah dengar penjelasan ini. Bagi non-Muslim (dan Muslim) yang faham, mereka boleh terima. Yang jadi masalah, kadang penjelasan ini belum masuk nalar logika mereka sehingga mereka menganggap Islam tidak toleransi. Ini wajar. Toh masih banyak juga Muslim yang tidak menerima penjelasan ini secara logika. Bagi saya, masalah keyakinan kadang tidak dapat dijabarkan melalui logika. Yang penting, kita hargai prinsip masing-masing dan jangan saling menghina dan menistakan agama. 

2. Tidak mengucapkan "Selamat Hari Natal" = Tidak bertoleransi agama?
Pendapat ini lucu sekali. Apakah toleransi hanya berdasarkan ucapan-ucapan semata? Bagi saya, toleransi harusnya ditunjukkan melalui sikap saling menyayangi sesama manusia walaupun berbeda agama. Kalau saudara Kristen kita sakit, kita jenguk, berkawan dan menerima teman non-Muslim apa adanya, membantu teman non-Muslim yang sedang kesusahan merupakan contoh-contoh toleransi beragama. Memberi kesempatan teman non-Muslim untuk melakukan ibadah agamanya juga termasuk sikap toleransi. Toleransi tidak harus berupa "ucapan Natal" atau "ucapan Lebaran". 

Buat apa mengucapkan selamat Hari Natal kepada kawan Kristen pada perayaan Natal tapi pada hari lain masih suka mengumpat mereka di belakang? Buat apa sekedar basa-basi memberi ucapan Natal di media sosial kalau hari-hari biasa kita tidak bertegur-sapa dengan mereka, menjauhi mereka?

Ketika SMA, saya berteman dekat dengan seorang penganut Protestan. Kami berkawan baik. Kalau saya balik ke Indonesia, kami temu kangen. Waktu SMA dulu kita satu geng tiga orang: Saya, dia, dan satu lagi teman Muslim. Saya dan teman saya Muslim satunya pakai jilbab. Kami bertiga selalu satu kelompok, janjian keluar main bersama, bolos sekolah dan daftar ekskul bersama dan banyak lagi. Pokoknya kita "best friend" lah istilahnya. Tapi kita tahu batasan agama masing-masing. Sekolah kami full-day. Waktu istirahat siang, teman Protestan kami menunggu kami di depan masjid sementara kami solat Dzuhur. Hari Minggu kami ada kerja kelompok, kami tunggu dia sampai selesai kebaktian di gereja. Ketika perayaan agama masing-masing, dia tidak mengucapkan "Selamat Idul Fitri" kepada kami yang Muslim, dan kami pun tidak memberi ucapan Natal kepadanya ketika musim Natal. Kebetulan dia memang faham hukum memberi ucapan Natal dalam Islam. Inilah bentuk toleransi kami. Walaupun kami tidak mengucapkan selamat hari raya agama masing-masing, kami tetap berteman baik sampai sekarang.  

Ketika kuliah di Malaysia, teman satu kamar saya penganut Katolik. Dia faham prinsip yang dianut sebagian Muslim yang tidak mengucapkan "Selamat Natal". Walaupun dia masih mengucapkan "Selamat Idul Fitri/Adha" dan ikut merayakannya di rumah orang tua saya, dia tidak tersinggung ketika saya dan teman sekamar kami lainnya yang Muslim tidak memberi Ucapan Natal. Kami bertiga sama-sama mahasiswa rantau dari Indonesia yang tahu toleransi agama. Pada perayaan Krismas tahun lalu, kami (yang Muslim) memang tidak mengucapkan "Selamat Hari Natal" kepadanya tetapi  kami mengingatkan dia untuk pergi ke gereja. (Dia juga sering mengingatkan kami untuk solat). Dia sendiri orangnya pemalu dan takut pergi ke gereja sendiri. Kami pun menawarkan untuk mengantar dia ke gereja terdekat dari rumah kontrak kami, tetapi dia menolak dengan alasan tidak mengenal dan tidak terbiasa dengan jemaat di gereja tersebut. 

Walaupun kami yang Muslim tidak memberi ucapan Natal kepadanya, apakah dia membenci kami? Apakah kami tidak bisa berkawan baik? Sampai sekarang kami masih bercanda-tawa bersama.

Masih banyak bentuk toleransi yang biasa kita tunjukkan untuk teman non-Muslim. Bagi teman non-Muslim, jika kami tidak mengucapkan "Selamat Natal" bukan berarti kami tidak toleransi. Kami punya prinsip yang kami yakini. Kami tidak membenci anda dan agama anda. Saya pribadi mempersilahkan dan menghormati ibadah teman non-Muslim.

3. "Bom gereja" = penolakan Islam terhadap Kristianiti?
Saya prihatin dan menyesal setiap kali mendengar tempat ibadah dibom, dihancurkan, diserang. Dan kebanyakan kejadian yang di-blow-up di media melibatkan Muslim yang menyerang tempat ibadah umat lain terutama Kristen. Saya berkeyakinan, mereka yang mengebom gereja ini tidak mewakili Islam dan Muslim keseluruhannya. Mereka cuma terlalu bernafsu "ingin masuk surga" dan mewakili aliran sesat mereka sendiri. Islam merupakan agama yang menjunjung toleransi dan perdamaian. Islam tidak mengizinkan umatnya membunuh manusia tidak bersalah (secara kemanusian) dan yang tidak memusuhi Islam.  Jadi peristiwa "bom gereja" ini tidak mewakili Islam dan Muslim karena kami masih toleransi terhadap adanya Kristianiti. 

4. Sesama Muslim pun masih debat tetang hukum Ucapan Natal.
Antara orang Islam pun masih berdebat apakah mengucapkan "Selamat Natal" haram dalam Islam. Memang ada yang mengharamkan dan menganut prinsip tersebut seperti yang dijelaskan di atas. Namun ada juga yang tidak mempermaslahkan Ucapan Natal atas dasar toleransi dan kasih sayang. Berikut pendapat golongan Muslim Pro-Ucapan Natal:

Ulama kontemporer seperti Syeikh Yusuf al Qaradhawi membolehkan pengucapan Selamat Natal apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya (Dikutip dari EraMuslim).

Telah dijelaskan dalam Quran:

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

"Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” (QS. An Nisaa : 157)

Jadi bagi golongan Pro-Ucapan Natal, mengucapkan "Selamat Hari Natal" boleh-boleh saja untuk menunjukkan rasa toleransi adil dan kasih sayang. Walaupun saya termasuk yang memgang prinsip Kontra Ucapan Natal, saya tidak membenci Muslim golongan Pro-Ucapan Natal. Saya menghargai prinsip mereka. Tapi yang saya sedih kalau saya perhatikan di media sosial, sesama umat Muslim bertengkar karena perbedaan prinsip ini. Yang Kontra Ucapan Natal meragui ke-Islam-an golongan satunya. Yang Pro-Ucapan Natal menghina "Islam-nya" golongan lainnya. Sebetulnya hal itu tidak perlu terjadi. 

Yang mau mengucapkan "Selamat Natal" ya silakan, tidak perlu gembar-gembor menyalahkan dan meng-kuno-kuno-kan golongan Kontra Ucapan Natal. Yang tidak setuju Ucapan Natal, sebaiknya diam saja dan tidak perlu memperdebatkan isu ini jika niatnya ingin memaksakan kehendak dan pendapat. Setiap Muslim ada pemahaman tentang Islam tersendiri dan hanya Allah yang berhak "judge" apakah dia berdosa atau tidak, murtad atau tidak. kalau sekedar mau mengingatkan, sebaiknya pakai bahasa yang sopan karena kita mewakili agama kita. Jika kita "berdakwah" Islam dengan cara yang kasar, orang lain akan menganggap agama kita yang salah. 

Intinya, jangan sampai perbedaan pendapat memecahkan kita sesama umat beragama dan kita sesama rakyat Indonesia. Kalau bisa, kita tidak perlu mendebatkan isu ini lagi pada masa hadapan. Saya yakin umat Kristen tidak mempermasalahkan kalau kita tidak mengucapkan Selamat Natal. Toh mereka tidak haus akan perhatian itu. Yang mereka inginkan cuma perayaan Natal yang damai dan kita sebagai umat Islam yang bertoleransi dan meyakini ayat-ayat Quran seharusnya membantu memnyediakan suasana damai itu seperti mana kita mengaharapkan kedamaian di hari Fitri. 

Berikut tips yang bisa saya bagi untuk sesama Muslim yang masih "blur" tentang isu ini:

1. Kalau kita yakin memberi Ucapan Natal boleh merusak akidah kita, kita sebaiknya diam dan memperdalam iman untuk membentengi akidah kita sendiri. Tidak perlu berlarut-larut dalam debat kusir yang tidak akan mendatangkan solusi. Jika niat berdakwah ingin membetulkan pemahaman Muslim Pro-Ucapan Natal, lakukan dengan cara yang sopan. Tapi lebih baik tidak perlu dilakukan jika ujung-ujungnya akan saling menyakiti. Toh banyak medan dakwah lainnya. Tidak mesti dalam hal ini. Masalah akidah juga urusan umat dengan Tuhannya dan cuma Allah yang tahu dan berhak menentukan apakah itu salah atau benar.

2. Teman-teman yang Pro-Ucapan Natal silakan ucapkan "Selamat Natal" dalam bentuk dan media yang benar. Tidak perlu mengungkit dan menghina kekolotan golongan Muslim Kontra Ucapan Natal. Jika anda mengucapkan "Selamat Natal" untuk menunjukkan anda lebih baik dari golongan Muslim Kontra Ucapan Natal karena anda punya toleransi, berarti anda salah. Niat anda salah. Sikap anda tidak ingin menunjukkan toleransi terhadap umat Kristen tetapi anda ingin mencari musuh dalam Islam. Saya perhatikan banyak kawan-kawan Muslim yang begini. Ini bahaya dan perlu diwaspadai. 

3. Ekstremisme dan Fanatisme tidak mempunyai tempat dalam Islam. Kadang musuh Islam bukan non-Muslim tetapi Muslim itu sendiri.

Pic from 8womendream


Sekian pendapat saya dan wassalam...



Wednesday, April 30, 2014

Jokowi Effect: agenda setting politik atau kepentingan ekonomi media?

9:40 AM Posted by Lily Rofil , , 1 comment
Assalamualaikum dan salam sejahtera

Apa kabar Internet? Lama sudah saya tidak update blog ini. Tampaknya terkahir posting setahun yang lalu. Betapa malasnya sibuknya saya kebelakangan ini. OK, kali ini saya mau menyampaikan unek-unek sedikit tentang suhu politik tanah air. Seperti biasa, karena background saya Media Studies, saya akan menjabarkan fenomena politik Indonesia tahun 2014 berkaitan dengan perilaku media dalam memberitakan political events di tahun hajatan demokrasi Indonesia ini.

Tahun 2014 menjadi tahun fenomenal bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Masa peralihan dari Orde Baru ke era Reformasi diharapkan berakhir, berganti ke era demokrasi sepenuhnya. Tahun ini juga menandai pertama kalinya presiden dipilih oleh rakyat menamatkan tugas setelah dua penggal pemerintahan seperti ditetapkan Undang-Undang. Wajah baru pun akan mewarnai pemerintahan negara berpenduduk lebih dari 230 juta jiwa ini. Antara wajah baru yang akan menduduki posisi teratas pemerintahan Indonesia ialah Joko Widodo atau biasa dikenal Jokowi.

sumber gambar: luwuraya.net


Sejak meninggalkan kursi Wali Kota Solo untuk menjadi orang nomer wahid di Jakarta, hingga mendeklarasikan diri sebagai capres (calon presiden) untuk periode 2014-2019, Jokowi menjadi fenomena media yang tergolong unik bagi saya. Bagaimana tidak? Wajahnya wira-wiri di media baik elektronik atau cetak, terlebih lagi media baru, Internet. Hampir setiap hari, nama Jokowi tidak luput dari pemberitaan mulai dari prestasi dan kegiatannya sebagai kepala daerah hingga sikap politiknya sebagai calon pemimpin negara. Banyak berita yang melambungkan namanya, tetapi tidak sedikit pula berita yang menjunamkan pamor Gubenur DKI Jakarta tersebut. Sosoknya yang merakyat menjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat awam dan pengamat politik. Karena ketenaran langkah politik dan kepemimpinannya yang berdampak luas, Jokowi mempunyai daya tarik tersendiri yang diakui masyarakat sebagai Jokowi Effect atau Pengaruh Jokowi.

Nama Jokowi mulai terangkat sejak dua tahun lalu ketika beliau tampil di muka umum bersama mobil Esemka yang digadangnya sebagai mobil dinas sekaligus kendaraan politik untuk meraih simpati masyarakat. Mobil rakitan sekelompok siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Solo tersebut diwacanakan Jokowi sebagai prestasi baru pemuda tanah air yang perlu didukung oleh pemerintah dan segenap masyarakat. Tindakan Jokowi ini berhasil menarik dukungan masyarakat dan selanjutnya melambungkan namanya hingga dia mendapat posisi politik strategis untuk melaju ke ibu kota.

Dengan slogan Jakarta Baru yang digadangnya bersama Basuki Tjahya (Ahok), Jokowi berhasil menawan ibu kota. Selama hampir dua tahun pertamanya sebagai gubernur DKI Jakarta, Jokowi dan Ahok memperkenalkan kebijakan-kebijakan baru yang tidak eksis di pemerintahan sebelumnya. Mulai dari Kartu Jakarta Pintar, Jakarta Sehat, lelang jabatan camat, pelaksanaan e-governance hingga sikap kontroversial seperti penggusuran warga bantaran kali dan pembangunan kampung deret, merupakan tindakan afirmatif yang berani diambil oleh Jokowi. Tidak ketinggalan juga gaya khasnya yang sering blusukan atau turun langsung memantau aktivitas warga serta kegiatan pembangunan menjadi fenomena sensaional. Banyak yang memuji kerja Jokowi tersebut. Namun, tindakan serta kebijakan Jokowi tersebut tidak luput dari kritikan dan dianggap sebagai "pencitraan" semata-mata.

Istilah pencitraan ini, saya rasa, sangat menarik untuk diteliti dari sudut pandang ilmu komunikasi media. Saya selalu tertanya-tanya, sebetulnya siapakah yang membangun pencitraan ini? Media atau Jokowi? Saya perhatikan, awalnya media mengangkat nama Jokowi ke puncak popularitas sehingga masyarakat mengenal dan mengagung-agungkan sosoknya. Penerimaan masyarakat terhadap Jokowi disambut positif oleh media yang kemudian makin gencar memberitakan hampir setiap kegiatan Jokowi sehingga audiens mulai bosan. Ketika itulah istilah "pencitraan" muncul. Masyarakat yang jenuh dengan berita positif tentang Jokowi menganggap sosok Jokowi hanya superfisial, yang nampak gagah di luar tapi kosong di dalam.

Saat masyarakat sudah muak dengan Jokowi, media pun "mengambil kesempatan." Media yang semula fokus menjual imej positif Jokowi, mendekati sumber berita yang pro-Jokowi, mulai mengincar lawan politik Jokowi dan, tentu saja, berbalik menyerang Jokowi. Berita-berita negatif tentang Jokowi bermunculan dan seolah-olah membantah berita-berita sebelumnya. Jokowi kini menjadi musuh bersama media dan masyarakat. Dalam gambaran sederhananya, ketika masyarakat dominan mengagungkan Jokowi, media menyuapi mereka dengan imej positif Jokowi. Saat masyarakat dominan muak dan benci Jokowi, media menyuapi mereka dengan imej negatif Jokowi. Kalau dipikir-pikir, media "menjual" apa yang perlu dicari masyarakat. Di sini lah permainan agenda setting media.

Mengapa saya kaitkan fenomena Jokowi Effect dengan konsep agenda setting? Sebelum saya terangkan lebih lanjut, ada baiknya saya petikkan maksud agenda setting terlebih dahulu. Menurut McCombs & Shaw (1972), konsep agenda setting bermaksud,

pembentukan persepsi masyarakat melalui pesan media dengan mengetengahkan isu-isu penting sebagai agenda publik.

Teori agenda setting berasal dari anggapan bahwa media menarik perhatian audiens kepada isu-isu tertentu, seperti membangun imej figur politisi, serta mempengaruhi audiens untuk berpikir seperti apa yang mereka pikirkan (Lang & Lang, 1966). Seperti yang diutarakan Cohen (1963), pers selalu berusaha membisiki pembacanya tentang apa yang mereka perlu pikirkan. Dengan kata lain, media sebenarnya tidak memberitakan apa yang terjadi di persekitaran begitu saja, tetapi menyaringnya dan menjadikannya sebagai opini atau pemikiran umum, seolah-olah isu yang diangkat tersebut merupakan isu penting bagi masyarakat luas.

Sekarang mari kita hubungkan teori agenda setting dengan fenomena Jokowi Effect. Pertama, media menyajikan opini kepada masyarakat: "Hei, ini loh  Pak Jokowi, sosok pemimpin yang mampu membawa perubahan Indonesia ke arah baik." Audiens yang muak dengan berita tentang pemimpin-pemimpin koruptor pun menerima baik opini tersebut. Masyarakat yang awalnya tidak tahu tentang Jokowi semakin penasaran lalu haus akan informasi tentang Jokowi. Bak gayung bersambut, media pun menyuapi masyarakat dengan informasi-informasi tentang Jokowi, dari hal yang penting sampai hal yang tidak penting, siang dan malam.

Hingga masyarakat mencapai fase "information overload", masyarakat pun mulai jenuh dan bosan dengan berita Jokowi yang itu-itu saja. Media tentu tidak mau kehilangan viewership  atau readership, dan mereka pun mulai "kreatif" menggoreng isu-isu di sekitar Jokowi. Ditampilkannya, sosok Jokowi yang lain, yang berbeda dari sikap positifnya selama ini. Bak kata mereka, "Eh ternyata Jokowi nggak hebat-hebat amat. Ini loh kekurangan-kekurangannya." Nah, masyarakat yang sudah jemu dengan berita Jokowi langsung melek lagi mencari informasi untuk memenuhi rasa penasaran mereka tentang sosok lain Jokowi. Masyarakat akhirnya terpengaruh media dan mulai berfikir bahwa Jokowi seperti apa yang diberitakan, "nggak hebat-hebat amat."

Media itu cerdik. Mereka bertindak seolah-olah berpihak kepada masyarakat luas, masyarakat dominan. Tapi masyarakat Indonesia mulai pintar menilai berita. Mereka berpikir bahwa berita kebanyakan ditunggangi kepentingan politik. Mereka pun sudah pintar menilai dan membeda-bedakan media menurut afiliasi politiknya. Masyarakat mungkin sudah waspada dengan kepentingan politik media. Tetapi, mereka masih tidak sadar kepentingan ekonomi media.

Hakikatnya, kepentingan ekonomi media justru lebih berbahaya daripada kepentingan politik mereka. 

Media bisa dengan mudah berpindah dari pihak politik A ke pihak politik B demi keuntungan ekonomi. Masyarakat mungkin sudah sadar bahwa pemberitaan tentang konflik-konflik politik hanyalah permainan untuk menggiring opini publik semata-mata. Namum mereka belum sadar bahwa media menginginkan pembaca/penonton selalu mengkonsumsi berita agar perolehan penjualan berita dan ruang iklan terus berjalan. Ibaratnya, media trust sudah menurun tapi media consumption masyarakat masih tinggi. Media juga tidak akan peduli jika audiens bertengkar sesama. Mereka malah sumingrah dan senang hati menyediakan bahan untuk pertengkaran itu.

Jika pembaca familiar dengan istilah Panasbung (Pasukan Nasi Bungkus, cyber army anti-Jokowi) dan Panastak (Pasukan Nasi Kotak, cyber army pro-Jokowi), pembaca pasti bisa membayangkan betapa jelas ada kepentingan ekonomi media dalam pemberitaan tentang Jokowi. Lihat saja di Kaskus, terutama di forum Berita dan Politik, Panasbung dan Panastak saling serang dengan menggunakan berita-berita entah dari sumber valid atau tidak, yang penting berita itu bisa "membuktikan" pemikiran/opini mereka. Dengan kata lain, audiens berita mencari berita bukan untuk mencari fakta tentang realitas sebenarnya tetapi untuk membenarkan opini mereka saja. Dan ini lah yang dimanfaatkan oleh sumber-sumber berita.

Sekian, semoga bermanfaat. Adios...