Estetika dalam Seni Islam
Islam, seni dan estetika sangat erat hubungannya. Sifat dinamik ajaran Islam memperbolehkan umatnya menghayati keindahan dalam pelbagai bidang tidak hanya seni saja. Seperti yang kita bahas pada bab sebelumnya, Islam meletakkan pengaruhnya pada setiap cabang seni, bahkan ikut menentukan arah perkembangan seni dunia. Seni Islam yang banyak mengandung unsur sakral meletakkan nilai estetika Islam sebagai estetika suci yang dekat hubungannya dengan sifat-sifat Allah. Sedangkan Seni yang telah dirancang oleh filsuf barat, seni profan, jauh dari spirit wahyu bahkan lepas sama sekali dari kaca mata keagamaan dan tentu saja mengandung sekulerastik akut. Barat sebagai pemerhati seni, menurut schuon, tidak bisa menentukan arah perkembangan seni itu sendiri karena bagi mereka, segala yang bisa disebut keindahan adalah anugrah alam semesta kepada manusia untuk dinikmati sebagai pelampiasan hasrat nafsu badaniah semata. Dalam pandangan Kristen misalnya, seni hanya dianggap sebagai media untuk menyalurkan aspirasi terpendam dan bukan sebagai bentuk persembahan agung pada sang pencipta. Banyak karya seni dan kriya hasil budaya Barat lebih menonjolkan bentuk lekuk tubuh wanita telanjang bahkan sedang melakukan persetubuhan. Dari sini muncul pertanyaan, apakah keindahan dari seni hanya berasal dari keindahan lekuk tubuh wanita saja? Jawabannya tentu bukan. Islam tidak mengajarkan tentang hal seperti itu. Seni dalam Islam lebih menonjolkan nilai suci (sakral)yang bisa dilihat nilai estetiknya. Nilai estetik Islam sendiri lebih menonjolkan satu-kesatuan bentuk yang berulang-ulang sehingga tercipta sesuatu yang harmonis dan seimbang. Keteraturan itu menggambarkan seni sebagai pengantar jiwa manusia ke Tuhan, ke Allah.
Dalam buku Estetika Islam oleh Oliver Leaman menyebutkan tiga argumen kuat yang menentang penggunaan seni dalam budaya Islam yaitu, penggambaran visual yang kreatif berakibat pada dikuasainya akal pikiran, pemusatan pada gambaran yang menghambat pemahaman hakikat segala sesuatu, dan yang terakhir yaitu bahwa nabi mencela segala bentuk pemberhalaan. Hal tersebut menjelaskan bahwa seni dan estetika Islam sangat menghargai dan memikirkan tentang hubungan kreatifitas otak manusia dengan moralitas untuk menghasilkan karya yang indah, suci dan bisa dihargai sebagai karya seni yang sebenarnya.
Seni dalam Islam bisa diartikan sebagai sebuah upaya untuk menuturkan kebesaran Ilahi yang mengungkapkan pelbagai aspek kehidupan terutama esensi ketauhidan karena segala sesuatu melantunkan puji-pujian bagi yang Esa. Dapat disimpulkan bahwa kejamakan pada akhirnya dapat direduksi menjadi ke-Esaan.
Beberapa hal yang menyangkut tentang gambaran dunia yang disajikan Al Quran dan pengaruhnya terhadap estetika, khususnya karya sastra, musik dan seni rupa salah satunya menjelaskan bahwa dalam Al Quran dinyatakan alam semesta, juga pribadi manusia, di mana ayat-ayat-Nya terbentang, diumpamakan sebagai kitab agung atau sebuah karya sestra yang ditulis oleh Sang Pencipta dengan kalam-Nya di atas lembaran terpelihara. Berdasarkan pandangan tersebut, para sufi memberikan pendapatnya mengenai fungsi seni yaitu, seni adalah pembawa nikamat mencapai keadaan jiwa yang damai dan menyatu dengan keabadian yang abadi. Seni juga sebagai pembebasan jiwa dari alam benda melalui sesuatu yang berasal dari alam benda itu sendiri. Fungsi seni yang lain yaitu sebagai penyucian diri dari pemberhalaan terhadap bentuk-bentuk itu sendiri. Fungsi keempat yaitu untuk menyampaikan hikmah, yaitu kearifan yang menbantu kita bersifat adil dan benar terhadap Tuhan. Seni juga berfungsi sebagai sarana efektif untuk menyebarkan gagasan pengetahuan, informasi yang berguna bagi kehidupan seperti pengetahuan dan informasi yang berkenaan dengan sejarah, geografi,hokum, undang-undang, adab, pemerintahan, politik, ekonomi, dan gagasan keagamaan. Fungsi yang terakhir yaitu, karya seni juga merupakan cara untuk menyampaikan puji-pujian kepada yang Maha Esa.
Dalam hadist Rasulullah menyebutkan Allah itu Indah dan menyukai keindahan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa estetika juga ada dan berpengaruh penting dalam Islam dan seni.
Estetika Menurut Pandangan Sayyid Hussein Nasser
Estetika dalam Islam mempunyai banyak pengertian. Salah satu pendapat mengenai estetika Islam yang terkenal datang dari Ibnu Arabi Hossein Nasser atau yang lebih dikenal Sayyid Hussein Nasser. Hussein Nasser mengistilahkan kemampuan berbahasa atas serapan pengalaman mistik itu sebagai scientia sacra (tradisi seni suci) yang memandang realitas tertinggi itu sebagai kemutlakan, ketakterbatasan dan kesempurnaan atau kebakaan. Keindahan yang dihubungkan dengan semua hipotesis tentang riil merupakan refleksi kemutlakan dalam keteraturan dan tatanan ketakterhinggan dalam pengertian batin dan misteri, yang menuntut kesempurnaan. Dengan kata lain, keindahan menurut Sayyid Hussein Nasser adalah suatu bentuk keteratuaran yang tak terbatas untuk mencapai kesempurnaan Ilahi.
Filosofi Estetika Al Ghazali
Abu Hamid Muhammad Alghazali Altusi adalah seorang tokoh ulama' yang
luas ilmu pengetahuannya dan merupakan seorang pemikir besar dalam sejarah falsafah Islam dan dunia. Kitab Ihya Ulumuddin merupakan karyanya yang terkenal yang memberi sumbangan besar kepada masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua masalah.
Keindahan merupakan landasan dari seni. Berdasarkan pernyataan itu, Al Ghazali membagi keindahan menjadi beberapa tingkat yaitu, keindahan inerawi dan natsani (sensual) yang disebut juga keindahan lahir, keindahan imajinatif dan emotif, keindahan aqliyah atau rasional, keindahan ruhaniah atau irfani, dan yang terakhir yaitu keindahan ilahiyah atau transendental. Dua keindahan terakhir dari Al Ghazali tersebut itulah yang biasanya dieksplorasi oleh para sufi dalam setiap karyanya. Secara teori, imajinasi puitis sebenarnya merupakan sarana prinsip para penyair mistikus untuk membawa pembaca ke suatu pengertian tentang wahyu kenabian. Sedangkan keindahan ruhania dan irfani (mistikal) dapat dilihat dalam pribadi nabi. Nabi merupakan pribadi yang indah bukan semata-mata disebabkan kesempurnaan jasmani dan pengetahuannya tentang agama dan duia, melainkan karena akhlaknya yang mulia dan tingkat makrifatnya yang tinggi.
Pendapat Nurcholis Majid Mengenai Estetika Islam
Bahasan tentang estetika Islam tidak hanya datang dari wilayah Timur Tengah yang terkenal dengan sufi-sufi maupun pemikirnya. Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya dan merupakan negara mayoritas berpenduduk muslim juga memiliki pemerhadi terhadap estetika Islam. Salah satu pemerhati tersebut adalah Dr. Nurcholis Majid.
Nurcholis Majid atau yang biasa disapa Cak Nur merupakan cendekiawan muslim dan merupakan ikon pergerakan muslim di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme yang menjelaskan tentang interaksi antarkelompok dengan mengedepankan rasa hormat dan saling toleransi tanpa konflik atau asimilasi. Paham pluralisme Cak Nur setidaknya melarang segala tindakan diskriminasi terhadap non-muslim. Cak Nur berpandangan bahwa manusia hidup dalam keberagaman termasuk keberagaman beragama. Dalam Al Quran sendiri telah dijelaskan bahwa umat muslim harus bisa menjaga toleransi beragama debgan umat agama lain. Cak Nur meyakini Islam adalah agama pada tiap masa dan tempat sebagai definisi universal Islam itu sendiri.
Cak nur membedakan antara keberagaman simbolik dan keberagaman subtansial. Cak nur menentang keras terhadap simbolisme yang berlebihan dalam keberagaman walaupun dia juga tidak menegasikan pentingnya simbolisme. Tanpa simbol orang tidak mungkin bisa mencapai yang Ilahi. Ini menjelaskan bahwa suatu keberagaman juga bisa dinilai sebagai nilai estetik terutama keberagaman simbol.
Estetika Islam dari Sudut Pandang Sayyid Qutub
Sayyid Qutub Ibrahim Hussein Syazili, lahir pada 9 Oktober 1906, di Mosyah, dalam wilayah Asyut. Beliau merupakan pemikir, pujangga, penulis, sasterawan, juga ulama ulung di Mesir pada kurun ke-20. Sebagai penulis, Sayyid dikatakan paling banyak dicetak bukunya. Karyanya masih terus diterbitkan hingga kini malah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Terutama tafsirnya “Fi Zilalil Quran” (Di Bawah Lindungan al-Quran) yang dianggap ‘karya agung’ oleh kebanyakan ulama. Sebagaimana petikan mukadimah tafsir tersebut yang berbunyi: Kehidupan di bawah lindungan al-Quran itu nikmat. Nikmat yang tidak akan dinikmati selain orang yang merasakannya.
Sebagai muslim yang total mempersembahkan hidupnya hanya untuk Islam, Sayyid Qutub memiliki keyakinan yang kuat tentang kebenaran tauhid. Keyakinannya itu tetap bertahan meskipun ia mendekam dalam penjara atas fitnah kudeta yang tidak pernah ia lakukan. Meskipun akhir hidupnya dinikmati di penjara, Sayyid Qutub tidak berhenti menulis karya terutama karya sastra. tulisan sastranya yang indah mengisyaratkan keadaan ruhani dan pikirannya. Baginya keindahan itu berasal dari sifat ruhani manusia dalam memahami arti hidup dan Islam terutama.
0 comments:
Post a Comment