take it or explode it

Saturday, January 17, 2015

Wajarkah Hukuman Mati Bagi Terpidana Kriminal Kelas Berat?

7:52 PM Posted by Unknown 2 comments
Indonesia mengeksekusi hukuman mati terhadap ENAM terpidana penyelundup dan pengedar narkoba dini hari Minggu, 18 Januari 2015. Antara keenam terpidana mati tersebut ialah lima Warga Negara Asing (WNA) dan satu Warga Negara Indonesia (WNI). Mereka adalah Marco Archer Cardoso Moreira (Brazil), Namaona Denis (Malawi), Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Thahir alias Tommi Wijaya (Belanda), Tran Thi Bich Hanh alias Asien (Vietnam)  dan seorang WNI Rani Andriani alias Melisa Aprilia. Kesemua terpidana dieksekusi oleh regu tembakdi Pulau Nusa Kambangan, kecuali Asien yang dieksekusi di Boyolali, Jawa Tengah.



Eksekusi terhadap gembong narkoba ini mendapat reaksi keras dari dunia Internasional. Presiden Brazil, Dilma Rousseff berang dengan keputusan presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) yang menolak permintaan grasi terakhir warga negaranya. Rousseff bahkan menganggap keputusan tegas Jokowi itu dapat merusak hubungan Indonesia-Brazil (bbc.com, 18 January 2015). Sebelumnya, Belanda melalui Kementerian Luar Negerinya juga menyampaikan keberatan terhadap hukuman ke atas warga negaranya, Ang Kiem Soei yang lahir di Papua. Bahkan Raja Belanda, Willem-Alexander dan Perdana Menteri Mark Rutte secara pribadi menghubungi Jokowi untuk menarik eksekusi tersebut, tetapi tetap ditolak (abcnews.go.com, 18 January 2015). Selain Brazil dan Belanda, Australia juga mengecam hukuman yang dianggap “tidak manusiawi” itu. Saat ini Australia masih menanti keputusan terhadap grasi yang diajukan oleh salah satu kelompok pengedar narkoba yang dikenal sebagai “Bali Nine” yaitu Andrew Chan. Rekan Chan yang juga warga negara Australia, Myuran Sukumaran tinggal menunggu eksekusi setelah grasinya ditolak pada bulan lalu (straitstimes.com, 18 January 2015).

Dunia boleh saja mengecam Indonesia atas tindakan berani menghukum mati para criminal narkoba dan terorisme karena dianggap tidak menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) atau lebih dikenal sebagai Human Rights. There goes again… Human Rights is “expected” to protect “humans” who took the rights of the “others”. So classic! Yang pasti, penegakkan hukum di Indonesia untuk melindungi warga negaranya juga perlu dihormati oleh dunia. Data dari Badan anti-Narkoba dan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan bahwa 40 – 50 orang meninggal di Indonesia setiap harinya karena barang haram tersebut. Para gembong narkoba internasional selama ini “mempermainkan” hukum di Indonesia dengan menjadikan negara kepualauan ini sebagai transit pengedaran narkoba terbesar se-Asia Tenggara. Sebanyak 45 persen peredaran narkoba di regional ASEAN terjadi di Indonesia (abcnews.go.com, 18 January 2015) yang datang dari berbagai penjuru dunia. Dengan adanya hukuman mati bagi para pengedar, Indonesia berharap para pengedar akan jera dan berpikir kembali untuk menyelundupkan narkoba dari dan ke Indonesia.

Hukuman mati bagi pengedar dan penyelundup narkoba di Indonesia memang sudah tidak dapat diganggu gugat. Presiden Jokowi menegaskan kesemua 64 terpidana narkoba yang menunggu eksekusi mati tidak akan mendapatkan grasi (straitstimes.com, 18 Januari 2015). Sebelumnya Indonesia memberlakukan status moratorium untuk hukuman mati dari 2008 hingga 2013. Pada tahun 2012 lalu, mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan grasi kepada dua terpidana mati kasus narkoba, Deni Setia Maharwan dan Merika Planola yang merupakan rekan sekomplotan Rani Andriani. Bukannya jera, ternyata Merika Planola masih aktif mengendalikan bisnis narkoba di balik jeruji dan kini kasusnya masih ditangani PN Tanggerang (detik.com, 18 Januari 2015). Rani Andriani juga pernah berusaha melarikan diri pada 2000 tetapi gagal. Ini menunjukkan bahwa hanya hukuman mati yang pantas untuk penjahat kelas kakap supaya mereka tidak semena-mena terhadap penegakkan hukum di Indonesia. 

Jika dilihat dari perjalanan kriminalnya (sumber: detik.com, 18 Januari 2015), para terpidana kasus narkoba yang dieksekusi hari ini memang layak dihukum mati. Ang Keim Soei pernah menyandang julukan “Raja Ekstasi” karena memiliki laboratorium yang memproduksi ekitar 150 butir pil ekstasi per hari di Ciledug, Tanggerang. Marco Moreirac terbukti menyelundupkan 13,4 kg kokain dalam pipa kerangka gantole (glider) melalui Bandara Soekarno Hatta dan sempat melarikan diri sebelum ditangkap di Pulau Moyo, Sumbawa pada 13 Agustus 2003. Naoma Denis menyelundupkan 1000 gram serbuk heroin dalam perutnya setelah serbuk putih itu dikemas dalam bentuk kapsul. Asien tertangkap tangan membawa 1.104 gram sabu senilai Rp. 2,2 Miliar oleh petugas Bea Cukai Bandara Adisumamo, Surakarta. Bayangkan betapa besarnya kehancuran yang ditimbulkan oleh para terpidana ini bagi generasi muda Indonesia? Mereka meraup keuntungan dari bisnis tersebut untuk kepentingan mereka sendiri sementara para pengguna narkoba yang kebanyakan remaja tidak matang harus menderita siksaan dan kepahitan hidup akibat narkoba yang didapat dari para gembong. Kebanyakan pemakai juga berhadapan dengan kematian, jadi mengapa pengedar dan penyelundup beralasan “kemanusiaan” untuk menghindari kematian? Toh selama ini mereka juga tidak memikirkan “efek kematian” yang “tidak manusiawi” yang ditimbulkan oleh bisnis mereka. 

Sekedar informasi, eksekusi hukuman mati di Indonesia dilakukan dengan hati-hati untuk meminimalkan efek sakit pada terpidana (sumber: tempo.co, 18 Januari 2015). Setiap terpidana dieksekusi oleh regu tembak yang terdiri dari 12 anggota polisi terlatih menggunakan senjata laras panjang. Dari 12 senjata yang digunakan, hanya tiga yang menembakkan peluru timah, sementara sisanya hanya berisi peluru hampa. Tembakan dilakukan serentak mengarah ke dada terpidana, tepatnya di jantung yang ditandai oleh warna hitam. Titik hitam itu ditandakan ke pakaian putih yang dikenakan terpidana atas saran dokter supaya peluru terus mengenai jantung dan menimbulkan efek kematian dengan segera. Lagipula, penembakan dilakukan pada jarak lima meter agar peluru tepat mengenai sasaran dan jenazah terpidana tidak rusak. Setelah terpidana tertembak, tim medis akan memastikan pakah terpidana sudah meninggal atau belum. Jika belum, tim eksekusi akan menembakkan sebuah peluru tepat di atas telinga terpidana. Setelah terpidana dipastikan meninggal, peluru akan diambil dari badannya. Setelah robekan badan jenazah dijahit, jenazah akan dimandikan sesuai prosedur keagamaan masing-masing. Sebelum dieksekusi, jenazah juga diberi pilihan berkaitan proses post-moterm termasuk pilihan untuk dikubur atau dikremasi juga pilihan tempat peristirahatan terakhir mereka. 

Dunia Barat juga tidak bisa seenaknya mengecam dan mengancam Indonesia atas tindakan berani ini. Selama ini mereka tidak protes jika Muslim yang mereka anggap teroris dihukum mati. Kenapa mereka protes ketika warga negaranya dihukum mati di negara mayoritas Muslim? Amerika Serikat juga menerapkan hukuman mati dan penyiksaan kejam kepada tahanan di Teluk Guantanamo yang kebanyakan beragama Islam, kenapa tidak ditentang? Mana HAM yang kalian teriakkan itu? Apakah HAM hanya berlaku untuk warga negara-negara Barat saja? Melihat rakyat sipil Palestina yang dibantai habis-habisan oleh tentara Zionist Israel, kalian juga acuh tak acuh. Kalau alasan pengedaran narkoba tidak sejahat aksi terorisme, ini tidak bisa diterima. Terorisme memang menyebabkan kematian dan kerusakan secara instan. Tapi akibat yang ditimbulkan oleh narkoba juga serupa. Narkoba membunuh nyawah dan menghancurkan ekonomi sosial secara perlahan-lahan. Hasil akhirnya, dua-dua tindakan criminal tersebut merugikan nyawa dan ekonomi. Jadi kalau mau teriak menegakkan HAM, coba pikirkan kembali kerugian HAM orang lain yang ditimbulkan oleh orang atau kelompok yang anda perjuangkan HAM-nya itu.