Halo pemuda/pemudi Indonesia
Setiap tahun rakyat Indonesia merayakan Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April. Setiap tahun pula wacana emansipasi di Indonesia diungkit dalam rangka peringatan hari kelahiran pejuang wanita yang bernama Raden ajeng Kartini tersebut. Sayang, masih banyak yang keliru akan makna emansipasi.
Pada post sebelumnya tentang mengapa saya support feminisme, saya sudah menyentuh sedikit tentang kekeliruan masyarakat terhadap istilah emansipasi (emancipation) dan kesetaraan gender (gender equality). Karena post tersebut saya tulis dalam bahasa Inggris, kemungkinan banyak orang yang tidak membacanya. Ada juga yang membacanya tapi masih salah faham. Jadi di sini saya mau membahasnya kembali.
Tadi pagi saya membaca salah satu tweet yang di-retweet salah satu teman saya, mengatakan salah satu bentuk emansipasi itu seperti keberanian cewek menyatakan cinta duluan kepada cowok. Emansipasi itu seperti cewek boleh memakai baju cowok, sebaliknya cowok boleh memakai baju cewek, katanya. Ada juga yang mengatakan, emansipasi itu keadaan di mana lelaki dipaksa masuk ke dapur sedangkan wanita boleh bebas kelayapan di luar rumah. Ini jelas anggapan tentang emansipasi yang salah kapra.
Emansipasi itu berasal dari perkataan dalam Bahasa Inggris "emancipate" atau "emancipation" yang artinya memberikan hak yang sepatutnya diberikan kepada orang atau sekumpulan orang di mana hak tersebut sebelumnya dirampas atau diabaikan dari mereka. Ibu kita Kartini telah mencontohkan salah satu bentuk emansipasi yang membawa perubahan besar kepada perempuan Indonesia, yaitu perjuangan menuntut hak pendidikan bagi perempuan. Ini jelas bentuk emansipasi karena fakta sejarah menceritakan bahwa wanita pada zaman dahulu diabaikan haknya untuk memperoleh pendidikan formal dan berkat Kartini, wanita pada zaman itu dan sekarang layak mendapatkan pendidikan formal di sekolah maupun di institusi pendidikan dan profesional lainnya. Bayangkan jika perempuan dilarang untuk mendapatkan pendidikan formal, mungkin saya dan anda para perempuan Indonesia di luar sana hanya berkesempatan menjadi tukang jahit, juru masak, pengasuh anak, dan mungkin juga pencari kutu rambut bersama tetangga-tetangga anda.
Sekarang perempuan Indonesia sudah bisa menikmati pendidikan formal seperti yang diharapkan Kartini. Lalu bentuk emansipasi apa lagi yang perlu diperjuangkan? Banyak. Hak berpolitik misalnya, walaupun wanita sudah mendapatkan kuota 30% di parlimen, suara mereka masih dianggap remeh. Saya rasa kuota itu hanya sebagai stimulus untuk melunakkan hati perempuan saja. Suara perempuan masih lagi diwakili oleh suara lelaki. Hakikatnya, lelaki dan perempuan mempunyai kepentingan yang berbeda. Jadi, emansipasi perempuan dalam bidang politik seharusnya membebaskan wanita menyuarakan pendapatnya tanpa harus dibayangi imej seksis dan kepentingan kaum lelaki, apalagi kepentingan partai.
Pada zaman modern ini sudah banyak juga wanita yang menceburi bidang profesional dengan menduduki posisi yang sebelumnya didominasi oleh lelaki. Ini juga bentuk emansipasi, yaitu emansipasi menuntut hak di arena publik. Sebelumnya, perempuan selalu dikaitkan dengan tugas rumah tangga saja seperti memasak, mencuci, membersikan rumah, merawat anak, dan melahirkan. Sekarang sudah banyak wanita yang menjabat sebagai direktur, manajer, ketua oraganisasi, bahkan salah satu presiden kita ada yang berjenis kelamin perempuan. Mengenai performance mereka, itu urusan pribadi masing-masing. Yang terpenting, mereka sudah diberi kesempatan untuk menunjukkan sumbangan yang bisa diberikannya untuk pembangunan negara.
Sesungguhnya emansipasi yang sebenarnya adalah bentuk pemberian hak kepada wanita untuk mengembangkan diri dan kemahiran profesional agar bisa bergandeng bahu dengan lelaki dalam pembangunan negara. Tidak ada maksud negatif yang tersembunyi di sebalik gerakan emansipasi. Jikapun ada, itu kembali ke niat orang atau kumpulan yang memperjuangkannya dan apa latar belakang yang memotivasinya. Bagi saya pribadi, emansipasi bukan usaha untuk melegalkan prostitusi, seks bebas, homoseksualitas, gonta-ganti pasangan, aborsi, dan segala bentuk degradasi peradaban lainnya seperti yang dituduhkan oleh kaum konservatif patriarki. Jika ada gerakan yang mengatasnamakan emansipasi dan mendukung usaha-usaha ilegal tersebut, bukan berarti itu mewakili gerakan emansipasi kolektif secara umumnya.
Emansipasi juga tidak menyeru perempuan untuk membangkang dari ayahnya, walinya, orang tuanya, dan suaminya. Dalam Islam sendiri sudah disebutkan bahwa seorang istri (wanita) wajib mentaati suaminya (lelaki). Bahkan ketaatan seorang istri kepada suami dinilai ketaatan tertinggi setelah ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun perlu digarisbawahi oleh lelaki, Islam tidak pernah mengajarkan lelaki untuk memukul, menghina, dan merendahkan martabat isterinya. Suami juga tidak boleh menyuruh hal-hal yang dilarang oleh agama kepada istrinya. Tidak ada dalam al-Quran ditemukan ayat yang menyatakan istri adalah hamba sahaya seorang suami. Suami perlu menghormati istri dan wanita di sekitarnya sebagai bentuk balasan ketaatan perempuan-perempuan tersebut. Sebagai lelaki yang dibawa ke dunia oleh seorang wanita, setiap lelaki tidak berhak untuk merendahkan siapapun wanita di sekelilingnya.
Saya seorang perempuan biasa. Saya tidak menuntut banyak dari anda semua. Saya cuma berharap melalui tulisan ini, mari kita sama-sama membuka mata dan lebih peka terhadap sumber masalah sosial yang sebenarnya dan tidak melulu menyalahkan pihak tertentu atas kebobrokan masyarakat. Menyalahkan perjuangan emansipasi dan perempuan misalnya, ini hanya akan menambah masalah dan tidak mencari solusi. Setiap gerakan memiliki sisi negatif dan positifnya. Yang positif kita dukung, yang negatif kita lawan.
Tulisan ini mewakili pandangan pribadi saya. Jika anda mempunyai pendapat berbeda, itu hak anda dan anda berhak mengutarakannya di sini sebagai bahan diskusi sehat.
0 comments:
Post a Comment