Assalamualaikum dan salam sejahtera
Apa kabar Internet? Lama sudah saya tidak update blog ini. Tampaknya terkahir posting setahun yang lalu. Betapa malasnya sibuknya saya kebelakangan ini. OK, kali ini saya mau menyampaikan unek-unek sedikit tentang suhu politik tanah air. Seperti biasa, karena background saya Media Studies, saya akan menjabarkan fenomena politik Indonesia tahun 2014 berkaitan dengan perilaku media dalam memberitakan political events di tahun hajatan demokrasi Indonesia ini.
Tahun 2014 menjadi tahun fenomenal bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Masa peralihan dari Orde Baru ke era Reformasi diharapkan berakhir, berganti ke era demokrasi sepenuhnya. Tahun ini juga menandai pertama kalinya presiden dipilih oleh rakyat menamatkan tugas setelah dua penggal pemerintahan seperti ditetapkan Undang-Undang. Wajah baru pun akan mewarnai pemerintahan negara berpenduduk lebih dari 230 juta jiwa ini. Antara wajah baru yang akan menduduki posisi teratas pemerintahan Indonesia ialah Joko Widodo atau biasa dikenal Jokowi.
sumber gambar: luwuraya.net
Sejak meninggalkan kursi Wali Kota Solo untuk menjadi orang nomer wahid di Jakarta, hingga mendeklarasikan diri sebagai capres (calon presiden) untuk periode 2014-2019, Jokowi menjadi fenomena media yang tergolong unik bagi saya. Bagaimana tidak? Wajahnya wira-wiri di media baik elektronik atau cetak, terlebih lagi media baru, Internet. Hampir setiap hari, nama Jokowi tidak luput dari pemberitaan mulai dari prestasi dan kegiatannya sebagai kepala daerah hingga sikap politiknya sebagai calon pemimpin negara. Banyak berita yang melambungkan namanya, tetapi tidak sedikit pula berita yang menjunamkan pamor Gubenur DKI Jakarta tersebut. Sosoknya yang merakyat menjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat awam dan pengamat politik. Karena ketenaran langkah politik dan kepemimpinannya yang berdampak luas, Jokowi mempunyai daya tarik tersendiri yang diakui masyarakat sebagai Jokowi Effect atau Pengaruh Jokowi.
Nama Jokowi mulai terangkat sejak dua tahun lalu ketika beliau tampil di muka umum bersama mobil Esemka yang digadangnya sebagai mobil dinas sekaligus kendaraan politik untuk meraih simpati masyarakat. Mobil rakitan sekelompok siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Solo tersebut diwacanakan Jokowi sebagai prestasi baru pemuda tanah air yang perlu didukung oleh pemerintah dan segenap masyarakat. Tindakan Jokowi ini berhasil menarik dukungan masyarakat dan selanjutnya melambungkan namanya hingga dia mendapat posisi politik strategis untuk melaju ke ibu kota.
Dengan slogan Jakarta Baru yang digadangnya bersama Basuki Tjahya (Ahok), Jokowi berhasil menawan ibu kota. Selama hampir dua tahun pertamanya sebagai gubernur DKI Jakarta, Jokowi dan Ahok memperkenalkan kebijakan-kebijakan baru yang tidak eksis di pemerintahan sebelumnya. Mulai dari Kartu Jakarta Pintar, Jakarta Sehat, lelang jabatan camat, pelaksanaan e-governance hingga sikap kontroversial seperti penggusuran warga bantaran kali dan pembangunan kampung deret, merupakan tindakan afirmatif yang berani diambil oleh Jokowi. Tidak ketinggalan juga gaya khasnya yang sering blusukan atau turun langsung memantau aktivitas warga serta kegiatan pembangunan menjadi fenomena sensaional. Banyak yang memuji kerja Jokowi tersebut. Namun, tindakan serta kebijakan Jokowi tersebut tidak luput dari kritikan dan dianggap sebagai "pencitraan" semata-mata.
Istilah pencitraan ini, saya rasa, sangat menarik untuk diteliti dari sudut pandang ilmu komunikasi media. Saya selalu tertanya-tanya, sebetulnya siapakah yang membangun pencitraan ini? Media atau Jokowi? Saya perhatikan, awalnya media mengangkat nama Jokowi ke puncak popularitas sehingga masyarakat mengenal dan mengagung-agungkan sosoknya. Penerimaan masyarakat terhadap Jokowi disambut positif oleh media yang kemudian makin gencar memberitakan hampir setiap kegiatan Jokowi sehingga audiens mulai bosan. Ketika itulah istilah "pencitraan" muncul. Masyarakat yang jenuh dengan berita positif tentang Jokowi menganggap sosok Jokowi hanya superfisial, yang nampak gagah di luar tapi kosong di dalam.
Saat masyarakat sudah muak dengan Jokowi, media pun "mengambil kesempatan." Media yang semula fokus menjual imej positif Jokowi, mendekati sumber berita yang pro-Jokowi, mulai mengincar lawan politik Jokowi dan, tentu saja, berbalik menyerang Jokowi. Berita-berita negatif tentang Jokowi bermunculan dan seolah-olah membantah berita-berita sebelumnya. Jokowi kini menjadi musuh bersama media dan masyarakat. Dalam gambaran sederhananya, ketika masyarakat dominan mengagungkan Jokowi, media menyuapi mereka dengan imej positif Jokowi. Saat masyarakat dominan muak dan benci Jokowi, media menyuapi mereka dengan imej negatif Jokowi. Kalau dipikir-pikir, media "menjual" apa yang perlu dicari masyarakat. Di sini lah permainan agenda setting media.
Mengapa saya kaitkan fenomena Jokowi Effect dengan konsep agenda setting? Sebelum saya terangkan lebih lanjut, ada baiknya saya petikkan maksud agenda setting terlebih dahulu. Menurut McCombs & Shaw (1972), konsep agenda setting bermaksud,
Teori agenda setting berasal dari anggapan bahwa media menarik perhatian audiens kepada isu-isu tertentu, seperti membangun imej figur politisi, serta mempengaruhi audiens untuk berpikir seperti apa yang mereka pikirkan (Lang & Lang, 1966). Seperti yang diutarakan Cohen (1963), pers selalu berusaha membisiki pembacanya tentang apa yang mereka perlu pikirkan. Dengan kata lain, media sebenarnya tidak memberitakan apa yang terjadi di persekitaran begitu saja, tetapi menyaringnya dan menjadikannya sebagai opini atau pemikiran umum, seolah-olah isu yang diangkat tersebut merupakan isu penting bagi masyarakat luas.
Sekarang mari kita hubungkan teori agenda setting dengan fenomena Jokowi Effect. Pertama, media menyajikan opini kepada masyarakat: "Hei, ini loh Pak Jokowi, sosok pemimpin yang mampu membawa perubahan Indonesia ke arah baik." Audiens yang muak dengan berita tentang pemimpin-pemimpin koruptor pun menerima baik opini tersebut. Masyarakat yang awalnya tidak tahu tentang Jokowi semakin penasaran lalu haus akan informasi tentang Jokowi. Bak gayung bersambut, media pun menyuapi masyarakat dengan informasi-informasi tentang Jokowi, dari hal yang penting sampai hal yang tidak penting, siang dan malam.
Hingga masyarakat mencapai fase "information overload", masyarakat pun mulai jenuh dan bosan dengan berita Jokowi yang itu-itu saja. Media tentu tidak mau kehilangan viewership atau readership, dan mereka pun mulai "kreatif" menggoreng isu-isu di sekitar Jokowi. Ditampilkannya, sosok Jokowi yang lain, yang berbeda dari sikap positifnya selama ini. Bak kata mereka, "Eh ternyata Jokowi nggak hebat-hebat amat. Ini loh kekurangan-kekurangannya." Nah, masyarakat yang sudah jemu dengan berita Jokowi langsung melek lagi mencari informasi untuk memenuhi rasa penasaran mereka tentang sosok lain Jokowi. Masyarakat akhirnya terpengaruh media dan mulai berfikir bahwa Jokowi seperti apa yang diberitakan, "nggak hebat-hebat amat."
Media itu cerdik. Mereka bertindak seolah-olah berpihak kepada masyarakat luas, masyarakat dominan. Tapi masyarakat Indonesia mulai pintar menilai berita. Mereka berpikir bahwa berita kebanyakan ditunggangi kepentingan politik. Mereka pun sudah pintar menilai dan membeda-bedakan media menurut afiliasi politiknya. Masyarakat mungkin sudah waspada dengan kepentingan politik media. Tetapi, mereka masih tidak sadar kepentingan ekonomi media.
Media bisa dengan mudah berpindah dari pihak politik A ke pihak politik B demi keuntungan ekonomi. Masyarakat mungkin sudah sadar bahwa pemberitaan tentang konflik-konflik politik hanyalah permainan untuk menggiring opini publik semata-mata. Namum mereka belum sadar bahwa media menginginkan pembaca/penonton selalu mengkonsumsi berita agar perolehan penjualan berita dan ruang iklan terus berjalan. Ibaratnya, media trust sudah menurun tapi media consumption masyarakat masih tinggi. Media juga tidak akan peduli jika audiens bertengkar sesama. Mereka malah sumingrah dan senang hati menyediakan bahan untuk pertengkaran itu.
Jika pembaca familiar dengan istilah Panasbung (Pasukan Nasi Bungkus, cyber army anti-Jokowi) dan Panastak (Pasukan Nasi Kotak, cyber army pro-Jokowi), pembaca pasti bisa membayangkan betapa jelas ada kepentingan ekonomi media dalam pemberitaan tentang Jokowi. Lihat saja di Kaskus, terutama di forum Berita dan Politik, Panasbung dan Panastak saling serang dengan menggunakan berita-berita entah dari sumber valid atau tidak, yang penting berita itu bisa "membuktikan" pemikiran/opini mereka. Dengan kata lain, audiens berita mencari berita bukan untuk mencari fakta tentang realitas sebenarnya tetapi untuk membenarkan opini mereka saja. Dan ini lah yang dimanfaatkan oleh sumber-sumber berita.
Sekian, semoga bermanfaat. Adios...
Saat masyarakat sudah muak dengan Jokowi, media pun "mengambil kesempatan." Media yang semula fokus menjual imej positif Jokowi, mendekati sumber berita yang pro-Jokowi, mulai mengincar lawan politik Jokowi dan, tentu saja, berbalik menyerang Jokowi. Berita-berita negatif tentang Jokowi bermunculan dan seolah-olah membantah berita-berita sebelumnya. Jokowi kini menjadi musuh bersama media dan masyarakat. Dalam gambaran sederhananya, ketika masyarakat dominan mengagungkan Jokowi, media menyuapi mereka dengan imej positif Jokowi. Saat masyarakat dominan muak dan benci Jokowi, media menyuapi mereka dengan imej negatif Jokowi. Kalau dipikir-pikir, media "menjual" apa yang perlu dicari masyarakat. Di sini lah permainan agenda setting media.
Mengapa saya kaitkan fenomena Jokowi Effect dengan konsep agenda setting? Sebelum saya terangkan lebih lanjut, ada baiknya saya petikkan maksud agenda setting terlebih dahulu. Menurut McCombs & Shaw (1972), konsep agenda setting bermaksud,
pembentukan persepsi masyarakat melalui pesan media dengan mengetengahkan isu-isu penting sebagai agenda publik.
Teori agenda setting berasal dari anggapan bahwa media menarik perhatian audiens kepada isu-isu tertentu, seperti membangun imej figur politisi, serta mempengaruhi audiens untuk berpikir seperti apa yang mereka pikirkan (Lang & Lang, 1966). Seperti yang diutarakan Cohen (1963), pers selalu berusaha membisiki pembacanya tentang apa yang mereka perlu pikirkan. Dengan kata lain, media sebenarnya tidak memberitakan apa yang terjadi di persekitaran begitu saja, tetapi menyaringnya dan menjadikannya sebagai opini atau pemikiran umum, seolah-olah isu yang diangkat tersebut merupakan isu penting bagi masyarakat luas.
Sekarang mari kita hubungkan teori agenda setting dengan fenomena Jokowi Effect. Pertama, media menyajikan opini kepada masyarakat: "Hei, ini loh Pak Jokowi, sosok pemimpin yang mampu membawa perubahan Indonesia ke arah baik." Audiens yang muak dengan berita tentang pemimpin-pemimpin koruptor pun menerima baik opini tersebut. Masyarakat yang awalnya tidak tahu tentang Jokowi semakin penasaran lalu haus akan informasi tentang Jokowi. Bak gayung bersambut, media pun menyuapi masyarakat dengan informasi-informasi tentang Jokowi, dari hal yang penting sampai hal yang tidak penting, siang dan malam.
Hingga masyarakat mencapai fase "information overload", masyarakat pun mulai jenuh dan bosan dengan berita Jokowi yang itu-itu saja. Media tentu tidak mau kehilangan viewership atau readership, dan mereka pun mulai "kreatif" menggoreng isu-isu di sekitar Jokowi. Ditampilkannya, sosok Jokowi yang lain, yang berbeda dari sikap positifnya selama ini. Bak kata mereka, "Eh ternyata Jokowi nggak hebat-hebat amat. Ini loh kekurangan-kekurangannya." Nah, masyarakat yang sudah jemu dengan berita Jokowi langsung melek lagi mencari informasi untuk memenuhi rasa penasaran mereka tentang sosok lain Jokowi. Masyarakat akhirnya terpengaruh media dan mulai berfikir bahwa Jokowi seperti apa yang diberitakan, "nggak hebat-hebat amat."
Media itu cerdik. Mereka bertindak seolah-olah berpihak kepada masyarakat luas, masyarakat dominan. Tapi masyarakat Indonesia mulai pintar menilai berita. Mereka berpikir bahwa berita kebanyakan ditunggangi kepentingan politik. Mereka pun sudah pintar menilai dan membeda-bedakan media menurut afiliasi politiknya. Masyarakat mungkin sudah waspada dengan kepentingan politik media. Tetapi, mereka masih tidak sadar kepentingan ekonomi media.
Hakikatnya, kepentingan ekonomi media justru lebih berbahaya daripada kepentingan politik mereka.
Media bisa dengan mudah berpindah dari pihak politik A ke pihak politik B demi keuntungan ekonomi. Masyarakat mungkin sudah sadar bahwa pemberitaan tentang konflik-konflik politik hanyalah permainan untuk menggiring opini publik semata-mata. Namum mereka belum sadar bahwa media menginginkan pembaca/penonton selalu mengkonsumsi berita agar perolehan penjualan berita dan ruang iklan terus berjalan. Ibaratnya, media trust sudah menurun tapi media consumption masyarakat masih tinggi. Media juga tidak akan peduli jika audiens bertengkar sesama. Mereka malah sumingrah dan senang hati menyediakan bahan untuk pertengkaran itu.
Jika pembaca familiar dengan istilah Panasbung (Pasukan Nasi Bungkus, cyber army anti-Jokowi) dan Panastak (Pasukan Nasi Kotak, cyber army pro-Jokowi), pembaca pasti bisa membayangkan betapa jelas ada kepentingan ekonomi media dalam pemberitaan tentang Jokowi. Lihat saja di Kaskus, terutama di forum Berita dan Politik, Panasbung dan Panastak saling serang dengan menggunakan berita-berita entah dari sumber valid atau tidak, yang penting berita itu bisa "membuktikan" pemikiran/opini mereka. Dengan kata lain, audiens berita mencari berita bukan untuk mencari fakta tentang realitas sebenarnya tetapi untuk membenarkan opini mereka saja. Dan ini lah yang dimanfaatkan oleh sumber-sumber berita.
Sekian, semoga bermanfaat. Adios...
nice artikelnya gan, jangan lupa kunjungi kembali website kami pembuatan INTERIOR JAKARTA.
ReplyDelete